Administrasi Negara Pada Orde Lama

Administrasi Negara di Indonesia Pada Masa Orde Lama

Setelah selesai perang kemerdekaan, yaitu pada tahun 1951, dimulailah usaha-usaha pengembangan-pengembangan administrasi negara karena dipengaruhi oleh semakin besarnya peranan pemerintah dalam kehidupan masyarakat Indonesia seiring dengan timbulnya permintaan bagi perbaikan disegala sektor kehidupan sesuai dengan harapan terhadap negara Indonesia yang sudah merdeka.


Rekruitmen pegawai negeri banyak dipengaruhi oleh pertimbangan spoils system seperti faktor nepotisme dan patronage seperti hubungan keluarga, suku, daerah dan sebagainya. Dilain pihak, mulai disadari perlunya peningkatan efisiensi administrasi pemerintah, kemudian berkembang usaha-usaha perencanaan program di sektor tertentu dan akhirnya menjurus kearah perencanaan pembangunan ekonomi dan sosial. 

Administrasi negara yang ada pada waktu itu dirasakan sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan pembangunan nasional karena terkait oleh berbagai ketentuan perundangan yang berlaku , yang mendisain administrasi negara hanya untuk kegiatan rutin pelayanan masyarakat[1]. 


Perkembangan administrasi negara Indonesia selanjutnya mengarah kepada pembedaan antara administrasi negara yang mengurus kegiatan rutin pelayanan masyarakat dengan administrasi pembangunan yang mengurus proyek-proyek pembangunan terutama pembangunan fisik. 
Prioritas pembiayaan ditekankan pada administrasi pembangunan. Sedangkan kegiatan administrasi negara yang bersifat rutin kurang mendapat perhatian.


Pada masa Orde Lama (Sukarno), penataan sistem administrasi berdasarkan model birokrasi monocratique dilakukan dalam rangka membangun persatuan dan kesatuan yang berdasarkan pada ideologi demokrasi terpimpin. Sukarno melakukan kebijakan apa yang disebut dengan retoolling kabinet, dimana ia mengganti para pejabat yang dianggap tidak loyal. 
Dengan Dekrit Presiden no 6 tahun 1960, Sukarno melakukan perombakan sistem pemerintahan daerah yang lebih menekankan pada aspek efisiensi dan kapasitas kontrol pusat terhadap daerah. 


[1] Tjokroamidjojo, 1974:5-10