Hukum Islam dan CEDAW

Hubungan hukum Islam dan CEDAW belum diputuskan baik dalam peraturan perundangan maupun kebijakan Parpol dan masyarkat Indonesia. Persoalan hukum Islam dan CEDAW dapat dibagi dengan kemampuan dan kemauan mengubah hukum Islam agar menghapuskan diskiminasi terhadap wanita dan melindungi haknya.

Kemampuan mengubah hukum Islam pada dasarnya tergantung sumbernya. Dalam keberadaan suatu ketentuan hukum Islam bersumber pada al-Quran, Sunnah Mutawatir atau Sunnah Masyur yang telah jelas, ketentuan tersebut tidak boleh diubah baik jika bersifat diskriminatif, melanggar hak wanita atau tidak.

Namun demikian, kalau suatu ketentuan hukum Islam yang diturunkan Allah tidak jelas dan telah ditafsirkan secara diskriminatif dan melanggar hak wanita, penafsiran baru dapat dilakukan dan ketentuan tersebut disesuakian dengan CEDAW. Selain itu, ketentuan hukum Islam yang berlandaskan sumber akal manusia juga boleh diubah selaras dengan CEDAW.

Peraturan perundangan nasional pada kelihatannya dapat mengubah ketentuan hukum Islam. Waktu UUD 1945 berancang, Prof. Muhammad Yamin mengajukan usulan bahwa Mahkamah Agung berhak menguji peraturan perundangan terhadap UUD 1945, hukum Adat dan hukum Islam dan mencabut peraturan perundangan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sistem hukum tersebut. Jadi, peraturan perundangan tidak boleh dikeluarkan secara tidak sesuai dengan sistem hukum Islam. Sebaliknya, ketentuan hukum Islam tidak boleh diubah melalui peraturan perundangan nasional.

Saran Prof. Muhammad Yamin ditolak. Tetapi sarannya ditolak berdasarkan keberatan terhadap ruang lingkup wewenang Mahkamah Agung. Kemampuan atau ketidakmampuan mengubah Islam tidak disebut dan bahkan tidak ditetapkan dengan UUD 1945.[1]

Dalam masa keberlakuan UUD 1945, peraturan perundangan nasional telah mengubah ketentuan hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan, UU No.1/1974, PP No.9/1975 beserta UU No.7/1989 mengubah ketentuan hukum Islam terhadap putusnya perkawinain dengan tujuan meningkatkan persamaan antara pria dan wanita. Maka, ada kemungkinan bahwa peraturan perundangan nasional dapat mengubah hukum Islam secara sesuai dengan CEDAW.

Kemampuan tersebut perlu ditambah dengan kemauan mengubah hukum Islam. Dalam peraturan perundangan yang telah dikeluarkan, sikap pemerintah Indonesia terhadap perubahan hukum Islam selaras dengan CEDAW tidak yakin. UU No.7/1984 menolak perubahan hukum Islam berdasarkan CEDAW. Penjelasannya menyatakan, `Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional'.[2]

Selain itu, Penjelasan UU No.7/1984 berpendapat bahwa `dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meluputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia'.[3]

Namun, perlu diingat bahwa UU No.7/1984 dikeluarkan pada masa Orde Baru. Dalam Era Reformasi, Undang Undang tentang pengesahan suatu Konvensi biasanya menyatakan peraturan perundangan nasional akan disesuaikan dengan Konvensi bersangkutan. Tetapi Undang Undang tersebut tidak menjelaskan jika harmonisasinya berupa peraturan perundangan nasional saja atau tercantum sistem hukum yang berlaku di bawah peraturan perundangan nasional seperti hukum Islam.[4]

UU No.7/1984 ditambah RANHAM yang tidak menegaskan kedudukan hukum Islam dalam pelaksanaan CEDAW. Sebagaimana tersebut, RANHAM menyatakan wawasan HAM di Indonesia. Satu prinsip dalam wawasan tersebut adalah pengakuan atas kondisi nasional. Prinsip ini berarti bahwa dalam pelaksanaan HAM pemerintah Indonesia akan memperhatikan sepenuh `keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat pertumbaan sosial dan ekonomi serta faktor faktor lain'.[5] Istilah `faktor lain' kalau dibandingkan dengan ketentuan peraturan perundangan lain mungkin termasuk agama.[6]

Selanjutnya, Pasal 1 Ayat (2) KepPres No.129/1998 menyatakan kemajuan dan perlindungan HAM akan dilakukan dengan `mempertimbangkan nilai nilai adat istiadat, budaya dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945'. Ketentuan ketentuan RANHAM tersebut tidak menetapkan ruang lingkup perhatiannya dan pertimbangannya. Yaitu, ketentuan RANHAM tidak mengatakan hubungan antara faktor dan nilai tersebut dan HAM dan memang tidak mengatakan yang mana gugur dalam keadaan bahwa faktor dan nilai tersebut bertentangan dengan HAM.

Selain itu, RANHAM menetapkan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan CEDAW akan dilakukan.[7] Tetapi sebagaimana Undang Undang tentang pengesahan suatu Konvensi tersebut, RANHAM tidak menjelaskan kalau peraturan perundangan nasional tercantum hukum yang berlaku di bawah peraturan perundangan seperti hukum Islam.

UU No.39/1999 secara tersirat mengandung kemauan mengubah hukum Islam secara sesuai dengan CEDAW. Pertama, ada kemungkinan UU No.39/1999 memerintah pemerintah untuk melaksanakan HAM di bidang agama. Bab V UU No.39/1999 menyangkut kewajiban dan tanggung jawab pemerintah terhadap HAM. Pasal 71 menyatakan pemerintah harus `menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia'.

Pasal 72 menetapkan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut `meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara dan bidang lain'. Sebagaimana RANHAM, istilah `bidang lain' mungkin termasuk bidang agama.[8]

Kedua, UU no.39/1999 secara tersirat menetapkan ketentuan hukum Islam di bidang perkawinan perlu disesuaikan dengan CEDAW. Sebagaimana tersebut, Pasal 50 yo. Pasal 51 UU No.39/1999 menggariksan hak wanita berdasarkan CEDAW. Pasal 50 menetapkan seorang wanita yang telah dewasa atau telah kawin `berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya'.

Pasal 51 memberikan hak dan tanggung jawab kepada seorang isteri yang sama dengan suaminya selama dalam maupun pada putusnya perkawinan. Pasal 51 tidak mengandung pengecualian hukum agama sebagaimana Pasal 50. Jadi, Pasal 51 secara tersirat menetapkan persamaan seorang isteri dengan suaminya dijamin baik kalau ditentukan lain oleh hukum agamanya atau tidak.

Ketentuan UU No.39/1999 terhadap hukum Islam tersebut dapat dibandingkan dengan ketentuannya terhadap hukum Adat. UU No.39/1999 menentukan hukum adat akan dihormati hanya sepanjang tidak bertentangan dengan HAM. Pasal 6 Ayat (1) menetapkan dalam rangka penegakan HAM, hukum adata harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah.[9]

Selanjutnya, Pasal 6 Ayat (2) menetapkan, `Identitatas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman'. Penjelasan Atas UU No.39/1999 menetapkan Pasal 6 Ayat (2) berarti bawah hukum adat tetap dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan `asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat'. Dapat disimpulkan bahwa asas asas tersebut tercantum HAM.[10]

UU No.39/1999 tidak mengajukan alasan untuk perbedaan antara hubungan hukum Islam dan hukum Adat dengan HAM. Ada kemungkinan hukum Adat dapat dibatasi secara tersebut karena pada hakekatnya hukum Adat berkembang selaras dengan HAM. Hukum Adat berlandaskan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Kebiasaan tersebut dipengaruhi pendidikan maupun advokasi dan mobilisasi sosial. RANHAM menetapkan bahwa pendidikan, advokasi dan mobilisasi tersebut akan didasarkan HAM. Jadi, hukum Adat akan menjadi sesuai dengan HAM.

Sebaliknya, ada kemungkinan lain hukum Islam tidak dibatasi seperti hukum Adat karena telah mengandung ketentuan yang bertentangan dengan CEDAW dan, selama pada dasarnya, mungkin tidak boleh diubah.

TAP MPR No.IV/MPR/1999 Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 mengandung kemauan untuk melakukan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW yang cukup jelas. Di bidang hukum, Arah Kebijakan GBHN ingin `menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui [] hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender'.[11] Perkataan tersebut dapat berupa ketentuan ahwa hukum nasional sebagaimana tercantum hukum Islam perlu diubah dengan tujuan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita.

Kebijakan Parpol Indonesia belum sependapat mengenai hukum Islam dan CEDAW. Partai PDI dan Golkar berpendapat bahwa hukum Islam telah bertentangan dan perlu disesuaikan dengan HAM melalui peraturan perundangan nasional.[12]

Partai PPP merasa hukum Islam selalu melindungi hak hak wanita. Namun demikian, kalau memang ada hukum Islam yang bertentangan dengan HAM ketentuannya perlu `tidak diterapkan dalam pelaksanaan dilakukan fleksibel'.[13]
Partai PKB menyatakan hukum Islam telah melindungi persamaan antara pria dan wanita dan tidak perlu diubah.[14] ABRI ada pemahaman bahwa hukum Islam yang berlaku telah dikompilasi sampai tidak bertentangan dengan HAM dan tidak perlu diubah.[15]

Perbedaan pendapat mengenai hukum Islam dan CEDAW hidup dalam masyarakat Indonesia juga. Ibu Nursyahbani Katjasungkana ialah pejabat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK. Dia berpendapat bahwa hukum Islam pada prinsipnya tidak bertentangan dengan CEDAW. Namun demikian, penafsiran dari hukum Islam yang telah dikeluarkan memang bertentangan dengan CEDAW. Jadi, tidak perlu mengubah atau mencabut hukum Islam. Melainkan, penafsiran hukum Islam baru yang selaras dengan CEDAW perlu dibuat.[16]

Drs. Haji Suharto M, ialah Hakim Tinggi Agama dari Pengadilan Tinggi Agama, DIY. Dia mempunyai pemahaman bahwa hukum Islam telah melindungi persamaan antara pria dan wanita. Tentu saja hukum Islam mengandung perbedaan antara pria dan wanita tetapi perbedaan tersebut tidak bersifat diskriminatif. Melainkan, perbedaan tersebut berupa pembagian tanggung jawab rumah tangga atau cuma job description yang beda. Jadi, hukum Islam tidak perlu disesuaikan dengan CEDAW.[17]

Drs. Sudjana, SH, ialah seorang pengacara, ketua Parpol PSII 1905 dan penulis buku tentang hukum Islam dan Adat. Dia merasa hukum Islam tidak bersifat dan bahkan melarang diskriminasi terhadap wanita. Sebagaimana demikian, hukum Islam tidak jauh dari CEDAW. Bagaimanapun juga, hukum Islam diciptakan Allah. HAM tidak diterima sepenuhnya dalam hukum Islam. Jadi, kecuali ketentuannya yang telah ada, hukum Islam tidak harus disesuaikan dengan CEDAW.[18]

[1] - Soemantri, op. cit. catatan kaki no.101, hal.71-82.
[2] - Penjelasan Umum UU No.7/1984.
[3] - ibid.
[4] - Bagian III, butir 2 yo. butir 3 Penjelesan Atas UU No.5/1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) maupun Bagian I Angka 2 Penjelesan Atas UU No.29/1999 Tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965).
[5] - Bab I butir 2 Lampiran KepPres No.129/1998.
[6] - lihat Penjelasan UU No.7/1984 yo. Pasal 1 Ayat (2) KepPres No.129/1998. Bandingkan dengan Pasal 43 yo. Pasal 44 TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
[7] - I.2 yo. IV.B.2 Lampiran KepPres No.129/1998.
[8] - lihat Penjelasan UU No.7/1984 yo. Pasal 1 Ayat (2) KepPres No.129/1998. Bandingkan dengan Pasal 43 yo. Pasal 44 TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
[9] - Pasal 6 beserta Penjelasan Atas UU No.39/1999
[10] - lihat III.3 Lampiran TAP MPR No.X/MPR/1998 Tentang Pokok Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara beserta Bab I.B, Bab III.A, Bab III.B.5 dan Bab IV.A.3,4, 9, 10 Lampiran TAP MPR No.IV/MPR/1999 Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.
[11] - Bab IV.A.2 Lampiran TAP MPR No.IV/MPR/1999 Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.
[12] - Pertemuan dengan Drs. Ellya Totok Sujiyanto, tanggal 24 Nopember, 1999; Pertemuan dengan Drs. John S. Keban, tanggal 29 Nopember, 1999.
[13] - Surat Jawaban H. Abdurrachman, SH, Tanggal 10 December, 1999.
[14] - Surat Jawaban Para Anggota Fraksi PKB DPRD Propinsi DIY, Tanggal 11 December, 1999.
[15] - Surat Jawaban Drs. H. M. Fakkih, Tanggal 14 December, 1999.
[16] - Surat Jawaban Ibu Nursyahbani Kayjasungkana Tanggal 24 Nopember, 1999.
[17] - Pertemuan dengan Drs. Haji Suharto M., Tanggal 9 December, 1999.
[18] - Diskusi dengan Drs. Sudjana, SH, Tanggal 11 December, 1999.