Kebijakan Parpol dan ABRI Sebagai Lembaga Dasar Pemerintahan

Kebijakan Parpol dan ABRI Sebagai Lembaga Dasar Pemerintahan di Indonesia Tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Perlindungan Hak Wanita

Ada perbedaan antara kebijakan berbagai Parpol tentang soal soal di bidang penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan haknya. Semua Parpol berpendapat bahwa Konvensi HAM perlu disahkan maupun dilaksanakan. Bagaimanapun, ada perbedaan hemat Parpol terhadap keperluan mengubah UUD 1945 dan UU No.39/1999. Selain itu, ada perbedaan pemahaman Parpol tentang kebutuhan melindungi hak wanita secara terpisah dari hak asasi manusia. Akhirnya, ada perbedaan kebijakan Parpol tentang ruang lingkup wewenang menguji Mahkamah Agung dan / atau Pengadilan HAM.

Partai PDI-P mempunyai kebijakan yang menyambut soal soal tersebut. Drs. Ellya Totok Sujiyanto ialah Anggota Fraksi PDI-P dan Wakil Ketua Panitia Urusan Ruman Tangga (PURT) DPRD Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut Pak Sujiyanto, PDI-P sangat baik sama Konvensi tentang HAM.

PDI-P mau semua Konvensi tentang HAM disahkan dan dilaksanakan secara lengkap. Namun demikian, PDI-P tidak mau mengubah UUD 1945. Melainkan, Pembukaan UUD 1945 dan ketentuannya hanya perlu dilaksanakan. Dalam rangka perundang-undangan tersebut, diskriminasi terhadap wanita perlu dihapuskan dan haknya perlu dilindungi secara lengkap.

PDI-P memang ingin memberikan hak menguji yang lengkap kepada Mahkamah Agung serta Pengadilan HAM. Hak menguji tersebut perlu merupakan wewenang memeriksa peraturan perundangan pada semua tingkat dan hak mencabut peraturan perundangan yang bertentangan dengan HAM. PDI-P tidak mempunyai keberatan bahwa kekuasaan kehakiman sampai tingkat tersebut tidak sesuai dengan demokrasi. Melainkan, PDI-P merasa demokrasi berarti bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak boleh dilaksanakan secara tidak sesuai dengan HAM dan Mahkamah Agung dianggap perlu menjaga ciri demokrasi tersebut.[1]

Partai Golkar juga mempunyai kebijakan yang menyambut soal soal tersebut. Drs. John S. Keban ialah Ketua Komisi Pemilihan Umum (Pemilu) Partai Golkar, DIY. Menurut Pak John, Golkar merasa semua Konvensi tentang HAM perlu disahkan dan dilaksanakan. Kalau terdapat Konvensi yang tidak sesuai dengan kesadaran masyarakat Indonesia, kesadaran tersebut perlu diubah. Pak John menganggap itu aspek kemanusiaan abad ke-21.
Selain itu, Partai Golkar menyadari UUD 1945 sedang direvisi dan dianggap perlu diubah. Pusat perhatian revisi tersebut adalah ketentuan UUD 1945 tentang HAM. Golkar menyambut revisi tersebut. Namun demikian, Golkar merasa perubahan UUD 1945 perlu ditambah dengan pelaksanaannya. Dengan perkataan lain, mungkin realisasi UUD 1945 perlu menjadi pusat perhatian orang bersangkutan.

Dalam rangka perundang-undangan tersebut, Partai Golkar menganggap hak wanita perlu dilindungi. Pak John mengatakan bahwa perlindungan tersebut melanggar budaya tradisional. Budaya tradisional perlu disesuaikan dengan persamaan antara pria dan wanita. Namun, perubahaan budaya tradisional berupa proses yang panjang.

Sebagaimana kebijakan PDI-P tersebut, Partai Golkar mau memberikan hak menguji yang luas kepada Mahakamah Agung dan Pengadilan HAM. Pak John merasa badan peradilan tersebut harus berhati-hati dengan wewenangnya dan tidak boleh bertentangan kekuasaan legislatif atau eksekutif.[2]

Kebijakan PPP tidak lain dari Kebijakan PDI-P dan Golkar tersebut. Ketua Fraksi Persatiuan DPRD Propinsi DIY ialah H. Abdurrachman, SH. Pak Abdurrachan juga Ketua H. Abdurrachman, SH dan Rekan, Advokat / Penasehat Hukum Sebagai wakil PPP, Pak Abdurrachman berpendapat bahwa semua Konvensi yang berhubungan dengan HAM seharusnya disahkan menjadi suatu Undang Undang.

Bagaimanapun, UUD 1945 tidak perlu diubah. Melainkan, UUD 1945 dan UU No.39/1999 `sudah memadai terutama UUD 1945 sehingga perubahan tentang perlindungan HAM pada UU No.39/1999’.[3] Dalam rangka perundang-undangan tersebut, hak wanita `masih jauh dari yang diinginkan oleh hukum sehingga perlindungan hak hak wanita tersebut menjadi prioritas untuk dibuat dan diperbaiki’.[4]

PPP mau memberikan hak menguji kepada Mahkamah Agung dan / atau Pengadilan HAM yang berupa wewenang menguji segala peraturan perundangan terhadap dan hak memberikan rekomendasi hasil pengujiannya, `sehingga dapat dicabut serta diperbaiki dengan aturan yang lebih baik’.[5]

Kebijakan PKB memuat perbedaan dari kebijakan Parpol lain. Para Anggota Fraksi PKB DPRD Propinsi DIY menyambut baik atas terbitnya Konvensi HAM. PKB menganggap Konvensi HAM perlu dikonseptualisasikan dan diaktualisasikan sebaiknya.

Terhadap UUD 1945, PKB secara jujur mengakui UUD 1945 belum sepenuhnya tentang HAM dan ketentuannya `perlu secara spesifik digambarkan lebih lanjut’.[6] Perubahan tersebut perlu termasuk, `konkritisasi atas pemberlakuan hukuman bagi pelanggaran yang terjadi dengan masa hukuman yang sepadan dengan perbutannya dan dikenakan bagi siapapun pelanggarnya’.[7] Bagaimanapun, dalam rangka perubahan tersebut, PKB menegaskan perlu diingat bahwa UUD 1945 telah mengakui HAM terutama hak setiap bangsa untuk terlepas dari penjajahan dan mencapai kemerdekaan.

Selanjutnya, PKB menegaskan bahwa UUD 1945 pada hakekatnya tidak perlu diubah. Melainkan, UUD 1945 merupakan, `aturan aturan prinsipil moralitas secara global dan makro sehingga dikatakan sebagai landasan dari segala peraturan hukum’.[8] Aturan tersebut sudah memuat prinsi prinsip keadilan dan memang perlu tidak bertele-tele.

Akhirnya, PKB mengakui kebutuhan bahwa UUD 1945 disesuaikan dengan aspirasi masyarakat. PKB ingin mengatasi kemungkinan bahwa ketentuan UUD 1945 akan tercipta perbedaan pandangan dan jarak yang sangat jauh antara pemerintah dan rakyat.

PKB menyambut ketentuan UU No.39/1999. Namun demikian, PKB mempunyai keberatan UU No.39/1999 hanya didasarkan kalangan pemerintah dan dilakukan tanpa dialog dan diskusi interaktif dengan masyarakat. Jadi, dalam UU No.39/1999 terdapat `beberapa pasal [yang] perlu ada perbaikan dan lebih menampung aspirasi dan relevan terhadap perkembangan kebutuhan terkini yang pada tingkat implementasinya tidak berkesan hanya akan menjadi pemuas tangan besi pemerintah’.[9]

Dalam rangka perundang-undangan tersebut, PKB merasa `perlindungan hak terhadap perempuan pada prinsipnya sama dengan perlindungan terhadap setiap manusia jadi tidak perlu ada perbeaan antara laki dan perempuan’.[10] Bahkan, PKB `sangat tidak sepaham apabila ada pembedaan tersebut apalagi dalam pemberlakuan hukum positif yang merupakan hak bagi stiap manusia’.[11] Namun demikian, PKB ada pemahaman bahwa pemberlakuan hukum antara laki dan perempuan berbeda apalagi pada tingkat pembelaan dari diskriminasi dan penyelesaiannya.[12]

PKB berpendapat bahwa hak menguji tidak perlu diberikan kepada Mahkamah Agung atau Pengadilan HAM. Kalau peraturan perundangan didasarkan kesepahaman bersama antara penguasa dan rakyat memang tidak perlu diuji. Kesepahaman tersebut dijamin jika setiap rencana pembuatan aturan, `seharusnya pada tataran konseptual sudah mengalami tahap penyarinan terhadap kebutuhan, kemauan atau aspiratif dari keinganan masyarakat (rakyat) dan sesuai dengan tuntutan zaman serta asas kepatutan dan keadilan’.[13]

Kebijakan ABRI hampir sama kebijakan PKB tersebut. Drs. H. M. Fakkih ialah Wakil Ketua Fraksi TNI / POLRI di DPRD Propinsi DI. Sebagai Wakil ABRI, Drs. Fakkih mengatakan ABRI mau Konvensi HAM yang telah disahkan Indonesia `dilaksanakan sebagai bagian hukum positif’.[14] ABRI juga mau Konvensi lain diupayakan disahkan juga di Indonesia `sepanjang bersifat universal’.[15]

Menurut hemat ABRI, UUD 1945 beserta UU No.39/1999 sudah cukup memuat aturan tentang HAM. Jadi, UUD 1945 tidak perlu dirubah dalam rangka meningkatkan perlindungan HAM. Melainkan, `yang diperlukan adalah aturan pelaksanaan dan UU yang lebih merinci tentang perlindungan HAM’.[16]

Drs. Fakkih berpendapat bahwa hak wanita sudah cukup baik, khususnya di TNI dan merasa hak wanita juga sama dengan hak pria. Namun demikian `khusus untuk melindungi wanita perlu penyempurnaan-penyempurnaan seperlunya, sesuai kebutuhan masa kini’.[17] Selain itu, ABRI hanya mau hak menguji bagi Mahkamah Agung dan Pengadilan HAM selama disesuaikan dengan ketentuan hukum yang telah berlaku.[18]

[1] - Pertemuan dengan Drs. Ellya Totok Sujiyanto, tanggal 29 Nopember, 1999.
[2] - Pertemuan dengan Drs. John S. Keban, tanggal 30 Nopember, 1999.
[3] - Surat Jawaban H. Abdurrachman, SH, Tanggal 10 December, 1999
[4] - ibid.
[5] - ibid.
[6] - Surat Jawaban Para Anggota Fraksi PKB DPRD Propinsi DIY, Tanggal 11 December, 1999.
[7] - ibid. Bandingkan dengan Kebijakan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagaimana dijelaskan dalam Dr. Lance Castles (Pengantar), Tujuh Mesin Pendulang Suara, Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999 (1999), Bab.I. Lihat juga Dr. Lance Castles, "The Program of the Partai Amanat Nasional" (unpublished, 1999).
[8] - ibid.
[9] - ibid.
[10] - ibid.
[11] - ibid.
[12] - ibid.
[13] - ibid.
[14] - Surat Jawaban Drs. H. M. Fakkih, Tanggal 14 December, 1999.
[15] - ibid.
[16] - ibid.
[17] - ibid.
[18] - ibid.