Ketentuan Hukum Islam di Bidang Kewarisan

Seorang wanita yang berperkara dalam Pengadilan Agama menemui ketentuan hukum Islam terhadap kewarisan yang melanggar CEDAW. Di bidang tersebut, ketentuan hukum Islam bersumber pada al Quran, Sunnah beserta sumber akal manusia.[1] Sumber tersebut ditambah peraturan perundangan. Hukum kewarisan Islam tidak diatur peraturan perundangan secara lanjut sebagaimana perkawinan. Bahkan, hukum kewarisan Islam belum tersusun dengan satu Undang Undang yang berlaku bagi semua warga negara seperti UU No.1/1974.[2]

Selanjutnya, ketentuan UU No.7/1989 tentang memperinci kewarisan sebagaimana ketentuannya terhadap perkawinan. Pasal 49 Ayat (1) UU No.7/1989 memberikan pada Pengadilan Agama wewenang di bidang kewarisan. Pasal 49 Ayat (3) UU No.7/1989 menegaskan wewenang kewarisan tersebut berupa `penentuan siapa siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut'.[3]

Sebagaimana demikian, Pasal 54 UU No.7/1989 menetapkan bahwa hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Negeri pula berlaku pada Pengadilan Agama `kecuali yang telah diatur secara khusus' dengan UU No.7/1989. Ketentuan khusus tersebut hanya menyangkut perkawinan.[4] Yaitu, tidak ada ketentuan khusus terhadap kewarisan.[5] Akhirnya, KHI mengatur kewarisan secara garis garis besar dalam bidang itu.[6]

Ketentuan hukum kewarisan Islam menyangkut tiga kelompok orang: pewaris, orang yang dapat menerima pemberian harta peninggalannya maupun orang yang berhak mendapat bagian harta peninggalannya.[7]

Seorang dapat menerima pemberian harta peninggalan pewaris melalui wasiat dan hibah. Wasiat adalah pemberian kepada seorang atau lembaga yang dimaksud berlaku setelah pewaris bersangkutan meninggal dunia.[8] Pewaris hanya berhak memberikan wasiat sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.[9] Orang yang dapat menerima wasiat tidak dibatasi menurut jenis kelaminnya. Bagaimanapun, seorang ahli waris tidak boleh menjadi penerima wasiat kecuali dengan persetujuan para ahli waris.[10]

Hibah adalah pemberian suatu benda, `secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain atau lembaga yang masih hidup untuk dimiliki'.[11] Pewaris boleh menghibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga harta bendanya.[12] Biasanya, hibah dilakukan dengan persetujuan para ahli waris.[13] Suatu benda yang dihibahkan orang tua kepada anaknya apat diperhitungkan sebagai warisannya.[14]

Orang yang berhak mendapat bagian harta peninggalan pewaris dikenal dengan istilah ahli waris. Ahli waris merupakan orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris.[15] Kelompok ahli waris laki laki merupakan golongan laki laki yang terdiri atas ayah, anak laki laki, saudara laki laki, paman, kakek dan duda pewaris.[16] Kelompok ahli waris perempuan terdiri atas ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan janda pewaris.[17] Dalam keadaan ada semua ahli wais tersebut, maka yang berhak mendapat bagian harta peninggalan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.[18]

Besarnya bagian ahli waris bersumber pada al Quran dan ditetapkan menurut jenis kelaminnya.[19] Apabila pewaris cuma mempunyai satu anak dan anaknya perempuan, dia mendapat separoh bagian. Apabila pewaris tersebut mempunyai dua anak perempuan atau lebih mereka secara bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Namun demikian, apabila anak perempuan tersebut bersama-sama dengan anak laki laki, maka bagian anak laki laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.[20] Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ubunya dan keluarga dari pihak ibunya.[21]

Orang tua pewaris pula berhak mendapat warisan. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak.[22] Sebaliknya, ibu hanya mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan, selanjutnya, pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih.[23] Bila ada anak pewaris, ayah mendapat seperenam bagian.[24] Bila ada anak atau dua orang saudara perempuan pewaris atau lebih, ibu mendapat sepernam bagian.[25] Selain itu, ayah dan ibu pewaris bersama-sama mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil janda atau duda.[26]

Bila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, seorang saudara laki laki maupun seorang saudara perempuan pewaris masing masing mendapat seperenam bagian. Bila ada dua orang saudara laki laki atau dua orang saudara perempuan atau lebih, maka mereka bersama sama mendapat sepertiga bagian.[27]

Bagaimanapun, bila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah melainkan dia meninggalkan seorang saudara perempuan kandung atau seayah, saudara tersebut mendapat separoh bagian. Bila saudara tersebut lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara tersebut bersama dengan saudara laki laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki laki tersebut adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.[28]

Duda atau janda berhak mendapat bagian pewaris. Duda mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Duda hanya mendapat seperempat bagian bila pewaris memang meninggalkan anak.[29] Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan hany0a mendapat seperdelapan bagian bila pewaris memang meninggalkan anak.[30] Bagi pewaris yang beristeri lebih dari stau orang, para jandanya berhak mendapat bagian atas gonogini dari rumah tangga dengan suaminya.[31] Selanjutnya, para isteri mendapat sepermpat atau seprdelapan bagian yang kemundian dibagi antara mereka masing masing.[32]

Alasan untuk perbedaan jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam diajukan Sajuti Thalib, SH. Menurut dia, perbedaan tersebut perlu dilihat dalam rangka kewajiban laki laki terhadap isterinya dan anaknya. Kalau seorang laki laki menjadi ahli waris, bagiannya akan dipakai sebagai pemberian kepada isterinya dan anaknya. Sebaliknya, kalau seorang perempuan menjadi ahli waris, bagiannya akan dipakai sendiri dalam rangka penerimaan dari suaminya atau ayahnya. Maka, ahli waris laki laki tersebut perlu mendapat bagian yang lebih besar daripada ahli waris perempuan.[33]

Hukum kewarisan Islam tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap hak dan tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan. Telah jelas hukum kewarisan Islam mengurangi kedudukan wanita dan bersifat diskriminatif.

[1] - Sajuti Thalib, SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (1995), hal.40-68; Suhrawardi K Lubis, SH; Komis Simanjuntak, SH, Hukum Waris Islam: Lengkap dan Praktis (1999), hal.21-35; H. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (1998), hal.8-10.
[2] - lihat TAP MPRS No.II/MPRS/1960 Tentang Garis Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama sebagiamana ditelaah dalam Sajuti Thalib, op. cit. catatan kaki no.423, hal.172-173.
[3] - lihat juga Pasal 107 Ayat (1) huruf beserta Penjelasan Umum UU No.7/1989.
[4] - Pasal 65-91 UU No.7/1989.
[5] - Hoerudin, op. cit. catatan kaki no.333, hal.52.
[6] - Lubis dan Simanjuntak, op. cit. catatan kaki no.423, hal.20.
[7] - untuk ketentuan hukum kewarisan Islam terhadap masalah prosedural lihat Aul dan Rad dalam Pasal 192 yo. Pasal 193 KHI. Lubis dan Simanjuntak, op. cit. catatan kaki no.423, hal.160-174; H. Ahmad Azhar Basyir MA, Hukum Waris Islam (1998), hal.18-21. Lihat juga aturan acara ahli waris dalam Pasal 183 s/d Pasal 185 yo. Pasal 187 s/d Pasal 189 yo. Pasal 191 KHI.
[8] - Pasal 171 butir f KHI.
[9] - Pasal 195 Ayat (2) KHI.
[10] - Pasal 195 Ayat (3), Pasal 197, Pasal 207 yo. Pasal 208 KHI. Lihat juga A Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (1999), hal.173-181; Thalib, op. cit. catatan kaki no.423, hal.104-110.
[11] - Pasal 171 huruf g yo. Pasal 210 KHI.
[12] - Pasal 210 KHI.
[13] - Lubis dan Simanjuntak, op. cit. catatan kaki no.423, hal.41. Lihat juga Pasal 213 KHI.
[14] - Pasal 211 yto. Pasal 212 KHI, H. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (1998), hal.65. Lihat secara umum Budionio, op. cit. catatan kaki no.433, hal.183-184.
[15] - Pasal 171 butir c KHI, Thalib, op. cit. catatan kaki no.423, hal.72.
[16] - Pasal 174 Ayat (1) huruf a KHI
[17] - Pasal 174 Ayat (1) huruf a KHI.
[18] - Pasal 174 Ayat (2) KHI.
[19] - Pasal 176 s/d Pasal 191 KHI. Lihat juga A. Rachmad Budiono, SH, MH, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (1999), hal.55- 70; Thalib, op. cit. catatan kaki no.423, hal.128-140,
[20] - Pasal 176 KHI.
[21] - Pasal 186 KHI.
[22] - Pasal 177 KHI.
[23] - Pasal 178 Ayat (1) KHI.
[24] - Pasal 177 KHI.
[25] - Pasal 178 Ayat (1) KHI.
[26] - Pasal 178 Ayat (2) KHI.
[27] - Pasal 181 KHI.
[28] - Pasal 182 KHI. Lihat juga Budiono, op. cit. catatan kaki no.441, hal.88-110.
[29] - Pasal 179 KHI.
[30] - Pasal 180 KHI.
[31] - Pasal 190 KHI.
[32] - Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam (1996), hal.48-50.
[33] - Thalib, op. cit. catatan kaki no.423, hal.117-118.