Penegakan di Lingkungan Peradilan Umum

Seorang wanita bisa mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui hak menguji (toetsingsrecht atau judicial review) yang dapat diperbaiki. Di Indonesia, hak tersebut merupakan wewenang menguji peraturan perundangan yang lebih rendah dari Undang Undang terhadap peraturan perundangan yang berfungsi sebagai sumbernya. Hak menguji dilakukan oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan Umum.

Hak menguji tersebut tidak diberikan dengan UUD 1945. Bab IX UUD 1945 menyangkut kekuasaan kehakiman. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, `Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang Undang'. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, `Susunan dan kekuasaan Badan Badan kehakiman itu diatur dengan Undang Undang'.[1]

Melainkan, hak menguji diberikan kepada Mahkamah Agung dengan UU No.14/1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman.[2] Pasal 26 Ayat (1) UU tersebut menetapkan, `Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi'.

Ruang lingkup hak menguji secara ditetapkan dengan Pasal 26 Ayat (1) tersebut dapat dipahami dengan Penjelesan UU No.14/1970 maupun Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia. Menurut Penjelesan tersebut, Pasal 26 (1) berarti bawah Mahkamah Agung tidak boleh antara lain menguji Undang Undang dan peraturan pelaksananya terhadap UUD 1945. Penjelesan UU No.14/1970 menegaskan hak menguji sampai tingkat tersebut hanya dapat diberikan oleh MPR sebagai Perubahan UUD 1945.

Selanjutnya, Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia tersebut menyatakan bahwa setiap peraturan perundangan berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundangan yang `lebih tinggi’.[3] Dalam rangka itu, Pasal 26 Ayat (1) tidak berarti bahwa Mahkamah Agung boleh menguji sesuatu peraturan perundangan yang lebih rendah dari Undang Undang terhadap segala peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Melainkan, Pasal 26 Ayat (1) berarti bahwa Mahkamah Agung hanya boleh menguji sesuatu peraturan perundangan tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan berfungsi sebagai sumbernya. [4]

Jadi, hak menguji dapat dilakukan sebagai berikut. Pertama, Undang Undang dan peraturan pelaksananya tidak boleh diuji terhadap UUD 1945 atau TAP MPR. Kedua, Peraturan Pemerintah dapat diuji terhadap Undang Undang yang berfungsi sebagai sumbernya. Namun demikian, Peraturan Pemerintah tersebut tidak boleh diuji terhadap peraturan perundangan lain.

Ketiga, Keputusan Presiden dapat diuji terhadap Ketentuan UUD 1945, TAP MPR tentang GBHN di bidang Eksekutif dan Peraturan Pemerintah yang berfungsi sebagai sumbernya. Bagaimanapun, Keputusan Presiden tidak boleh diuji terhadap peraturan perundangan lain.

Keempat, peraturan pelaksana lain seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dapat diuji terhadap peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan atau yang berfungsi sebagai sumbernya. Sebagimana tersebut, peraturan Pelaksana tersebut tidak boleh diuji terhadap peraturan perundangan lain.

Pasal 26 Ayat (1) Undang Undang No. 14 Th.1970 diikuti dengan Pasal 26 Ayat (2) yang berbunyi, `Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan'.

Prof. Dr. Soehino berpendapat bahwa pencabutan itu harus dilaksanakan oleh instansi tersebut, berdasarkan perkataan Penjelesan UU No.14/1970.[5] Namun demikian, Samsul Wahidin, SH berpendapat bahwa pencabutan itu tidak harus dilaksanakan. Menurut dia, instansi bersangkutan dapat melanggar Putusan Mahkamah Agung terhadap peraturan perundangannya. Oleh sebabnya, Pasal 26 Ayat (2) UU No.14/1970 perlu diubah agar pencabutan tersebut menjadi kewajiban instansi bersangkutan.[6]

Pasal 26 UU No.14/1970 ditambah dengan Pasal 11 Ayat (4) TAP MPR Nomor III/MPR/1978 Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan / Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi Negara yang telah dilaksanakan dengan Pasal 31 UU No.14/1985 Tentang Mahkamah Agung. TAP MPR dan UU No.14/1985 tersebut merumuskan hak menguji secara tepat sama ketentuan UU No.14/1970.

UU No.14/1970 beserta TAP MPR Nomor III/MPR/1978 dan UU No.14/1985 ditambah lagi dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1/1993. PERMA No.1/1993 bersumber pada Pasal 79 UU No.14/1985 yang menyatakan Mahkamah Agung berhak mengatur hukum acara terhadap kekuasaan kehakiman yang diberikan dengan Undang Undang itu.[7] Sesuai dengan Pasal 79 UU No.14/1985, PERMA tersebut menetapkan hukum acara terhadap hak menguji Mahkamah Agung.

Bagaimanapun, PERMA No.1/1993 juga mengubah hak menguji dalam lingkungan peradilan umum. Pasal 26 Ayat (2) UU No.14/1970 beserta Pasal 31 Ayat (3) UU No.14/1985 tersebut menetapkan hak menguji Mahkamah Agung hanya dapat dilakukan pada tingkat kasasi. Bagaimanapun, Pasal 1 Ayat (1) yuncto Pasal 2 Ayat (1) PERMA No.1/1993 menentukan gugatan mengenai hak menguji juga dapat diajukan langsung kepada Mahkamah Agung.

Selanjutnya, PERMA No.1/1993 menetapkan hak menguji dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri Tingkat Pertama dalam perkara perdata dan pidana atau perkara Tata Usaha Negara (TUN).[8] Namun demikian, Pengadilan Negeri tersebut tidak boleh menyatakan perundang-undangan tidak sah sebagaimana Mahkamah Agung. Melainkan, Pasal 3 Ayat (1) PERMA No.1/1993 menetapkan Pengadilan Negeri hanya dapat menyatakan perundang-undangan yang digugat `tidak mempunyai hukum dan tidak mengingat pihak pihak yang berpekara'. Dengan perubahan hak menguji tersebut, PERMA Nomor 1 Tahun 1993 mungkin bertentangan dengan sumbernya, yakni Pasal 79 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985.[9]

Dalam rangka hak menguji ditegaskan, penegakan perundang-undangan terhadap HAM dapat dikukuhkan. Pada masa kini, seorang wanita tidak boleh mencari pengujian Undang Undang dan peraturan pelaksananya terhadap Ketentuan UUD 1945 tentang HAM atau TAP MPR No.XVII/MPR/1998.

Selanjutnya, seorang wanita hanya bisa mencari pengujian sesuatu peraturan perundangan yang lebih rendah dari Undang Undang terhadap Ketentuan UUD 1945 tentang HAM, TAP MPR No.XVII/MPR/1998, UU No.39/1999 kalau peraturan perundangan tersebut bersumber pada Ketentuan UUD 1945 tentang HAM, TAP MPR No.XVII/MPR/1998, UU No.39/1999. Seorang wanita tersebut tidak boleh mencari pengujian peraturan perundangan lain yang tidak bersumber pada UUD 1945, TAP MPR No.XVII/MPR/1998, UU No.39/1999 (yaitu mayoritas peraturan perundangan di Indonesia) baik bila diskriminasi dilakukan dan haknya dilanggar atau tidak. Oleh sebabnya, penegakan perundang-undangan tentang HAM maupun penghapusan diskriminasi dan perlindungan hak wanita perlu dikukuhkan dengan hak menguji yang lebih luas.[10]


[1] - dapat dibandingkan dengan Pasal 156 s/d Pasal 158 Konstitusi RIS 1950.
[2] - UU No.14/1970 sebagaimana diubah dengan UU No.35/1999 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
[3] - op. cit. n.117.
[4] - Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 111/B/1995 PT.TUN.JKT. dalam Tim Alumni (ed.), Kasus Pencabutan SIUPP Majalah Tempo: Suatu Yurisprudensi dalam Bidang Hukum Nasional Indonesia (1998), hal.246-249 sebagaimana dianggap sebagai contoh pelaksanaan wewenang menguji oleh Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri, M, SH, Hak Uji Material di Indonesia (1997), hal.97.
[5] - Soehino, SH, op. cit. n.70, hal. 155-157.
[6] - Samsul Wahidin, SH, Hak Menguji Materiil Menurut UUD 1945 (1984), hal.45-47.
[7] - Pasal 79 serta Penjelesan UU No.14/1985; Soemantri op. cit. catatan kaki no. kaki no.117, hal.89-91.
[8] - Pasal 1 Ayat (1) yo. Ayat (8) huruf a, Pasal 2 Ayat (3) PERMA No.1/1993. Hak Menguji dalam lingkungan TUN diatur dengan UU No.5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[9] - Soemantri op. cit. catatan kaki no. kaki no.117, hal.92.
[10] - Prof. R Subekti SH, Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia (1980), hal. 32; Prof. Muchsan op. cit. catatan kaki no. kaki no.87, hal.10; Ni'matul Huda op. cit. catatan kaki no. kaki no.22, hal. 143-144.