Pengertian Liberalisme Adalah

Liberalisme adalah bentuk system ekonomi yang mengandalkan mesin pasar secara liberal, sehingga menjustifikasi pengharaman negara dalam mengintervensi perputaran ekonomi pasar. Maka pasar ini dibiarkan begitu saja berputar secara alamiah, tanpa ada batasan sekat-sekat hukum, karena yang bermain di dalamnya hukum supply and dimand. Menurut paham ini tangan gaib (invisible hand) yang mengatur harga dalam pasar. Untuk mengetahui secara mendalam kita akan mengulas tentang perkembangan pemikiran system ekonomi ini.

Dalam system pembangunan ekonomi konvensional memiliki perkembangan-perkembangan pemikiran yang dimulai dari lahirnya system ini sampai sekarang. dan Liberalisme adalah bagian dari Kapitalisme. Maka kalau kita klasifikasikan perkembangan ekonomi ini dapat kita golongkan ke dalam empat fase: ekonomi klasik, keynesianisme, neo-klasik dan neo-liberalisme. Yang akan kita jelaskan secara tafsil sebagai berikut:

a.      Madzhab Ekonomi Klasik
Ekonomi klasik adalah paham ekonomi yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pembangunan ekonomi di negara-negara maju. Sebagai founding fathers ekonomi klasik ini Adam Smith, John Malthus dan David Ricardo. Sedangkan Adam Smith memproklamirkan diri teori-teori ekonomi ini dengan madzhab individualisme  "Laissez Faire, Laissez  Passez, Et Le Monde va De Luime me”, berarti:(Biarkan ia bekerja dan tinggalkanlah, dunia ini akan berjalan dengan sendirinya). Dalam kaitan pembangunan ekonomi, maka teori ini berbunyi: “Biarkan masyarakat mengelola ekonominya dengan sendiri, sedangkan negara tidak boleh mengintervensinya”[1].

Paham inilah yang memunculkan ghirah individualisme, yang sangat mempengaruhi pemikiran pembangunan ekonomi di negara-negara barat dan USA, dan juga terhadap pola hidup masyarakat Indonesia di perkotaan yang life style berkiblat kepada barat yang sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.  Adam Smith menolak pemikiran ekonomi intervensi negara terhadap perputaran ekonomi dalam masyarakat, yaitu dengan memberikan peluang perputaran ekonomi kepada masyarakat secara liberal sebagai mekanisme pasar, sehingga masyarakat mampu berkonsumsi dan berproduksi yang ditentukan oleh harga pasar dengan hukum penawaran dan permintaan (supply and dimand).

Dalam hal ini, Adam Smith berkeyakinan bahwa dengan tidak adanya intervensi negara dalam pengaturan pasar akan dapat menjamin keseimbangan ekonomi dalam masyarakat. Dan harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar dalam pandangan Smith akan dapat mempengaruhi produksi, income/pendapatan, deposito, distribusi dan konsumsi. Dengan demikian, maka harga yang telah ditentukan oleh mekanisme pasar akan dapat mengelola perencanaan produksi, tabungan deposito, dan distribusi secara natural, sehingga akan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara alami. Dengan berkeyakinan bahwa factor-faktor tangan gaib (invisible hand) akan berdampak pada natural order dan natural price dalam ekonomi[2].

Dalam kenyataannya, teori individualisme ini berdampak pada kerusakan social yang menyebabkan kesenjangan social antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin, karena teori ini berdampak dalam tatanan social yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terhimpit dan terjepit, karena berdasar teori “Yang kaya memakan yang miskin”. Dengan demikian, teori Adam Smith ini jelas ditolak mentah-mentah karena meninggalkan great depressionekonomi dunia pada tahun 1929 khususnya bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Para tokoh ekonomi klasik lain –Khusunya Malthus, David Ricardo dan John S. Mill- menambahkan tentang dua faktor yang dapat menghambat pembangunan ekonomi: Tingginya pertambahan angka penduduk dan kelangkaan sumber daya alam (SDA). Sehingga kedua factor inilah yang bila berkembang subur dalam masyarakat akan berdampak pada keterbelakangan ekonomi masyarakat, dan masyarakat tidak bertambah maju, bahkan akan terperosok ke dalam resesi ekonomi (stationary). Sekira mayoritas masyarakat hidup dalam level kemiskinan yang disebut dengan Minimum Subistence Level. Maka secara otomatis untuk mendongkrak masyarakat dalam level ini, akan menggunakan pola pemikiran pembangunan ekonomi yang kita sebut dengan Gradualistic Model of Growth & Stagnation[3].  

Perbedaan mendasar antara teori-teori pembangunan ekonomi Ricardo, Malthus dan Smith terletak pada analisa pembangunan tentang konsep peran penduduk sebagai unsure ekonomi. Menurut Smith angka pertambahan penduduk merupakan bagian dari factor-faktor produksi yang akan melahirkan perluasan pasar dan pertumbuhan ekonomi. Dengan semakin luasnya pasar, maka akan membuka inovasi-inovasi baru sebagai dampak dari insentif perluasan distribusi pekerjaan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi[4].

Masih dalam frame teori-teori ekonomi Smith, John S. Mill berpendapat bahwa dengan system spesilisasi dan distribusi kerja (division of labor) profesionalisme para pekerja dan produktifitasnya akan meningkat, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Sedangkan David Ricardo dan Malthus berpendapat bahwa dengan semakin bertambahnya penduduk maka dalam jangka panjang ekonomi akan terjerembab ke dalam resesi ekonomi, dikarenakan pertumbuhan penduduk melampui pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, maka sesuai dengan pendapatnya pembangunan ekonomi akan kembali ke level minimal (kemiskinan), dan Ricardo menambahkan bahwa tingginya produktifitas yang disebabkan oleh penggunaan tehnologi maju berdampak pada resesi ekonomi, akan tetapi tidak murni disebabkan oleh alih tehnologi maju[5].
                  
b.      Madzhab Ekonomi Keynesianisme
Madzhab Keynesianisme ini sangat membantah tentang teori-teori ekonomi Smith sebagaimana saya jelaskan di atas, dan pemikiran Keyn terfokus pada upaya pemberian solusi problematika ekonomi klasik dengan teori-teori: kerja, pemberdayaan, system bunga dan moneter. Dan revolusi Keyn ini kembali berupaya untuk menerapkan kebijakan-kebijakannya dalam memberikan solusi problematika melemahnya permintaan makro secara empiris dan tetap focus pada pentingnya intervensi pemerintah secara langsung melalui kebijakan-kebijakan financial. Yaitu dengan menerapkan kebijakan-kebijakan investasi publik dengan menutup mata tentang pentingnya kebutuhan investasi pada era sekarang[6].  Dengan demikian Pemikiran Keyn adalah atithesa pemikiran Smith dan Mark.

Pada tahun 1936 sebagai tahun lahirnya Madzhab Keynesianisme, yang mengfokuskan pemikirannya pada analisa ekonomi jangka pendek. Yang mana dunia mengalami depresi ekonomi secara besar-besaran dan pengangguran pun merajalela. Dalam general theorinya Keyn berpendapat bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara barat itu disebabkan oleh kurangnya investasi dari para investor secara umum. Oleh karena itu, untuk memberikan solusi atas krisis ini, negara harus melakukan intervensi di dalamnya.

Dalam perkembangan theorinya, Theori Keyn mengakui teori pertumbuhan ekonomi kontemporer yang mengfokuskan diri pada phisical capital formulation dan human capital/human invesment. Dampak dari teori Keyn ini dalam perkembangannya melahirkan teori pertumbuhan yang dianalisis oleh  Harrod (1948) dan Domar (1946) yang mengfokuskan analisanya pada permintaan makro secara empiris dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Menurut pendapat keduanya bahwa pertumbuhan ekonomi itu dipengaruhi oleh dua unsure: Investasi dan Capital Output Rasio[7]

Menurut teori ini masyarakat diharuskan memiliki tabungan deposito sebagai sumber investasi. Dan menurut salah satu penelitian mengatakan bahwa setiap tabungan deposito dan investasi bertambah maka berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dan begitu sebaliknya, setiap rendahnya capital output rasio akan berdampak pada lemahnya pertumbuhan ekonomi[8].

Menurut pemikiran Hanson, yang sangat memperhatikan bahaya tekanan inflasi –khususnya inflasi harga- terhadap kemajuan-kemajuan yang diraih negara-negara maju, yang akan berdampak pada resesi produksi dalam jangka panjang (secular stagnation), karena tidak bersesuaian antara harga-harga sumber daya produksi –selanjutnya harga-harga barang produksi- dengan tingginya produktifitas yang berimbas pada lemahnya struktur ekonomi dalam proses produksi. Sehingga mengharuskan intervensi negara dalam membatasi inflasi harga dengan cara menentukan harga secara langsung atau tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan financial[9].


c.       Neo-Klasik
Madzhab ekonomi Neo-Klasik mengfokuskan pemikirannya pada solusi peroblematika ekonomi jangka pendek. Yang menekankan pentingnya peran redistribusi sumber daya ekonomi (Optimum allocation of existing resources) untuk menambah kualitas produksi[10]. Menurut teori ini kemajuan tehnologi memiliki kontribusi signifikan dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dan unsure tehnologi memiliki pengaruh yang tinggi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu negara[11].

Dalam teori ini kemajuan tehnologi merupakan unsure penting yang dapat dimanfa’atkan semua negara di dunia ini. Dalam system ekonomi terbuka, semua factor-faktor produksi akan dapat berpindah secara mudah diantara negara-negara di dunia, dan alat-alat tehnologi ini akan dapat dimanfa’atkan secara lebih leluasa oleh negara-negara yang membutuhkannya. Dan oleh karena itu, akan terjadi convergent pertumbuhan ekonomi di semua negara di dunia, hal itu berarti: kesenjangan ekonomi antar negara akan menipis[12].   

Dalam perkembangan teori pertumbuhan ekonomi ini, pemikiran yang menjelaskan peranan perdagangan sebagai factor penting selain factor tenaga kerja, modal financial dan tehnologi. System dagang/perdagangan diakui sebagai factor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara manapun. Seperti yang dikatakan tokoh ekonomi Neo-Klasik Nurkse (1953) yang menjelaskan bahwa perdagangan merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi di abad ke –19, bagi negara-negara maju seperti USA, Canada dan Australia. Dalil empiris yang menguatkan asumsi tersebut adalah terwujudnya kemajuan ekonomi negara-negara industri baru, yang mana negara-negara ini sangat miskin akan sumber daya alam (SDA), misalnya: Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura, pertumbuhan ekonomi negara-negara ini didorong oleh tingginya kegiatan perdagangan internasional.
            Sebagai kesimpulan bahwa system ekonomi liberalisme adalah kumpulan dari madzhab ekonomi klasik, keynisan dan neo-klasik yang menelurkan kebijakan-kebijakan ekonomi berupa liberalisasi pasar, kebijakan pro-pasar, individualisme, kebijakan pro-bunga (system ribawi), pertumbuhan penduduk sebagai penghambat ekonomi, liberalisasi keuangan, spesialisasi bidang menuju profesionalisme tenaga kerja, system redistribusi ekonomi yang berbentuk subsidi harga dan produk sebagai bentuk kebijakan untuk kesejahteraan rakyat, penggunaan tehnologi maju, teori pertumbuhan ekonomi, intervensi negara dalam pasar sebagai pembuat hokum. Dan sebagai imbas dari pemberlakuan system liberalisasi ekonomi terbangunnya system kesenjangan ekonomi masyarakat yang sangat lebar, system korupsi, system monopoli dan keserakahan yang berakhir pada krisis ekonomi, pengangguran merajalela dan berujung pada sunami social.
             



[1].  Riadi & Deddy S B K, "Perencanaan Pemabangunan Daerah, Pt. Gramedia, Jakarta, 2005, hal. 51.
[2]. Lathif Hakim, M.Ec.,“Strategi Pembangunan Ekonomi Nasional Dalam Perspektif Islam”, bagian thesis, hal. 60.
[3]. Prof. Dr.  Abdul Hamid El-Ghazali, “Planning For Economic Development”, hal. 31.
[4]. Prof. Dr. Ginanjar Kartasasmita, "Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia",  LP3ES,  Jakarta, hal. 10.                                      
[5]. Prof. Dr. Mustafa Dijaja, "Format Bernegara Menuju Masyarakat Madani”,  LAN.,  Jakarta, hal. 33.
[6]. Prof. Dr. Nikmat Abdullathif Masyhur, “Az-Zakah Wal Asar Al-Inmai wa at-Tauzi’I”, Shaleh Kamil,  Univ. Al-Azhar, hal. 102. 
[7]. Riyadi & Deddy Supriyadi Kusumah, ibid. hal. 54.                                                                                     
[8].  Prof. Dr. Ginanjar Kartasasmita, ibid, hal. 11.
[9].  Prof. Dr. Abdul Hamid El- Ghazali, "Planning for Economic Development", ibid, hal.  33-34.             
[10].  Prof. Dr.  Abdul Hamid El-Ghazali, ibid. hal. 32.
[11].  Riadi & Deddy Supriadi Baratakusumah, ibid, hal. 55
[12].  Prof. Dr. Ginanjar Kartasasmita, op. cit. p. 11-12.  

Comments