Persepsi Petani Terhadap Pembiayaan Mikro Pedesaan

Persepsi Petani Terhadap Pembiayaan Mikro Pedesaan 

Dari berbagai sumber pembiayaan pertanian, banyak ditawarkan skim-skim kredit untuk sub sektor tanaman pangan dan hortikultura sesuai kondisi masing-masing lokasi. Bagi para petani yang memiliki banyak keterbatasan, baik pendidikan maupun pengetahuan, kadang kala mengalami kesulitan dalam menilai berbagai skim kredit yang ditawarkan. Tingkat pengetahuan petani suatu wilayah terhadap keberadaan lembaga pembiayaan umumnya masih rendah yang terkait dengan aksesibilitas wilayah yang bersangkutan. Di kabupaten Lombok Timur NTB dengan padi sebagai tanaman dominan, dengan aksesibilitas yang relatif baik, lebih mengenal berbagai lembaga pembiayaan yang ada di wilayahnya dibandingkan dengan di daerah-daerah lain (wilayah yang dominan bawang merah, di kabupaten yang sama; dominan jagung dan kentang di Sulawesi Selatan dan dominan kedele dan cabe merah di Jawa Tengah). 

Mayoritas petani secara umum mengetahui bahwa tingkat bunga sumber pembiayaan formal memang lebih rendah, tapi prosedur administrasi dinilai sulit, waktu penyaluran lama/lambat, dan jumlah kadangkala tidak sesuai seperti yang diharapkan. Sebaliknya, sumber pembiayaan informal seperti pedagang, pelepas uang dan kelompok, prosedur administrasi sederhana, waktu pencairan pinjaman cepat/tepat waktu sesuai kebutuhan tapi dengan tingkat bunga lebih tinggi. Namun demikian, penilaian petani terhadap tingkat bunga sangat relatif. Beberapa petani beranggapan bahwa dengan kesediaan memberikan pinjaman lebih diartikan sebagai “bantuan” atau “pertolongan” terhadap mereka dalam mengatasi masalah pembiayaan usahatani. Sehingga tingkat bunga yang harus dibayar lebih tinggi dianggap sebagai balas jasa dan merupakan hal yang wajar dan tidak memberatkan. 

Terhadap pembiayaan dengan kredit program, sebagian petani beranggapan bahwa prosedur administrasi dinilai mudah, tapi sayangnya realisasi penyalurannya dinilai sangat lambat. Hal ini terkait dengan aturan dan prosedur serta sasaran program yang harus jelas. Dalam pelaksanaannya selalu melibatkan kelompok-kelompok tani yang berperan aktif sebagai penanggung jawab. Para petani di NTB beranggapan bahwa sebagai anggota kelompok merasa sangat mudah mengikuti kredit program karena segala sesuatunya diurus dan diselesaikan oleh ketua dan pengurus kelompok. Hal serupa juga dialami oleh petani di Sulawesi Selatan yang tidak mengalami kesulitan dalam menerima BPLM.

Comments

Post a Comment