Contoh Kesimpulan Makah Pertanahan

Contoh Kesimpulan Makah Pertanahan - Eksploitasi Tanah dan Sistem Kebangsawanan, Pembagian Wilayah dan Birokrasi dapat diketahui bahwa bahwa para pejabat tinggi dan bangsawan kerajaan mempunyai kekuasaan dan hak untuk menarik pajak hasil agraria atau tenaga kerja, karena mereka mempunyai wilayah kekuasaan sendiri-sendiri dengan otonomi yang besar. 

Dengan demikian secara finansial mereka berdiri sendiri (otonom) dengan mempunyai dana dan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Keadaan semacam itu dapat dimengerti karena pemerintah pusat tidak menggaji mereka, dan sebagai gantinya mereka dibei hak untuk menarik pajak dan mengorganisasi tenaga kerja demi kepentingan mereka sendiri. Ketidakmampuan pemerintah pusat untuk menggaji para pejabatnya ini sebagian besar disebabkan oleh karena sifat perekonomian agraris dan organisasi keuangan pusat yang belum berkembang.

Kemandirian para pejabat kerajaan dan para bangsawan itu merupakan cerminan dari sistem pertanahan feodal khas Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada jaman raja-raja pra-kolonial. Hal ini berbeda dengan feodalisme Barat Abad Pertengahan, darimana istilah “Feodal” itu berasal. Di Eropa Barat pada zaman itu, tanah jabatan (apanage) dari para bangsawan dapat diturunkan (wariskan) kepada keturunan mereka. Hal itu berangkat dari prinsip kebangsawanan Barat yang memang bisa diwariskan, meskipun hubungan darah dari raja semakin jauh atau jika seseorang bangsawan itu sama sekali tidak menduduki jabatan tertentu dalam struktur birokrasi. 

Dengan demikian seorang bangsawan Belanda “Graaf” misalnya, miskipun akhirnya tidak menjadi raja, anak-cucunya akan tetap menyandang gelar bangsawan yang sama yaitu Graaf. Sebaliknya tingkat atau derajad kebangswanan seorang anak raja di Jawa akan lebih tinggi daripada cucu raja, dan cucu raja akan lebih tinggi daripada cicit raja dan seterusnya. Penurunan derajad kebangsdawanan di Jawa semacam itu juga akan mempengaruhi besaran (luas) tanah jabatan atau apanage yang diperoleh.

Sistem kebangsawanan di Jawa semacam itu pada gilirannya mengakibatkan seringnya terjadi perang-perang suksesi atau perebutan kekuasaan dalam kerajaan (Mataram), karena setiap bangsawan cenderung untuk mempertahankan atau meningkatkan derajad kebangswanan dengan cara menjadi raja atau paling tidak mempunyai hubungan darah sedekat mungkin dengan raja. 

Tanpa usaha semacam itu seorang bangsawan anak rajapun, keturunannya akhirnya akan bisa menjadi orang biasa atau kebanyakan. Sementara para aparat birokrasi , dari yang tertinggi yaitu patih sampai yang terendah yaitu lurah atau para bekel, sama sekali tidak bisa mewariskan tanah jabatannya kepada anak atau keturunan mereka. Hanya saja para pejabat tinggi kerajaan itu pada umumnya adalah para bangsawan keluarga besar raja, sedangkan para pejabat birokrasi rendah/rendahan hanya cenderung untuk memperjuangkan bahwa jabatan mereka kelak bisa digantikan oleh keturunannya.

Mengenai rakyat kebanyakan, “wong cilik” atau petani, adalah pihak yang mengerjakan tanah. Oleh karena itu mereka hanya menikmati bagian kecil dari hasil menggarap tanah atau sawah, yaitu 2/5 bagian. Hal semacam itu tentu saja sangat mempengaruhi etos kerja masyarakat Jawa di kemudian hari, yaitu kurangnya semangat untuk kerja keras. Dari kacamata masa kini hal itu bisa mengerti, yaitu karena tidak adanya dorongan atau harapan untuk bisa menikmati hasil kerja keras secara wajar atau adil. 

Barangkali sampai pada batas-batas tertentu ada benarnya, jika orang Belanda jaman kolonial mempunyai kesan bahwa orang (petani) Jawa itu “malas”, karena sistem pertanahan Jawa yang feodal memang sangat tidak kondusif. Artinya bahwa orang (petani) Jawa pada jaman itu berpendapat bahwa jerih payah dan kerja keras itu tidak akan memperoleh imbalan dan hasil yang sepadan.

Comments