Sistem Kebangsawanan, Pembagian Wilayah dan Birokrasi

Sistem Kebangsawanan, Pembagian Wilayah  dan Birokrasi
Pada jaman raja-raja feodal pra-kolonial, sistem kebangsawanan, pembagian wilayah dan birokrasi kerajaan sangat berkaitan erat dengan sistem pertanahan. Hal ini bisa dimengerti karena pada hakekatnya pengertioan feodalisme adalah sistem pemerintahan  yang dalam pendistribusian kekuasaan berjalan sejajar dengan pembagian tanah kepada para aparat brokrasi dan bangsawan. Dengan demikian tanah merupakan hal sangat penting dalam penyelenggaraan kekuasaan.

Terdapat dua kriteria untuk menentukan kedudukan seseorang dalam stratifikasi masyarakat kerajaan Mataram tradisional. Yang pertama bahwa status atau kedudukan bangsawan seseorang ditentukan oleh  hubungan darah seseorang dengan pemegang kekuasaan yaitu raja. Yang kedua ditentukan oleh posisi atau kedudukan seseorang dalam hierarki birokrasi kerajaan. Dengan memiliki salah satu  dari kriteria itu, maka seseorang dianggap termasuk golongan elit dalam stratifikasi masyarakat tradisional kerajaan mataram. Untuk kriteria yang disebutkan pertama hanya ditempati oleh para bangsawan yaitu yang berdasarkan atas  hubungan darah.dengan pemegang atau pemilik kekuasaan yaitu raja. Sementara untuk  yang disebutkan kedua bisa berasal dari bangsawan atau non-bangsawan. Artinya bahwa seseorang, meskipun bukan bangsawan, bisa diangkat dan menduduki strata tertentu dalam birokrasi kerajaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin dekat hubungan darah seseorang dengan raja berarti semakin tinggi pula status kebangsawanan seseorang. Sebaliknya makin jauh hubungan darah itu dari pemegang kekuasaan, maka makin kurang murnilah darah kebangsawanannya, yang berarti semakin menurun pula derajad kebangsawanannya. Pada umumnya derajad kebangswanan itu hanya menurun kepada ahli waris raja sampai derajad keempat atau paling jauh sampai derajad kelima.
Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh raja Mataram yaitu  Amangkurat, yang kemudian dilengkapi oleh Paku Buwana X, terdapat limatingkatan dalam hiererki kebangsawanan yaitu:[i]
1.      Para putra raja, termasuk dalam golongan gusti.
2.      Para cucu raja, termasuk dalam golongan bendara
3.      Para cicit raja, termasuk dalam golongan abdi sentana
4.      Para canggah, termasuk golongan bendara sentana
5.      Para wareng raja, termasuk dalam golongan abdi kawula warga

Sementara itu menurut Van den Berg, hanya terdapat empat gelar bangsawan di luar raja. Gelar tertinggi, yaitu para putra raja, yang mempunyai gelar Pangeran, kedua adalah para cucu raja dengan gelar Raden Mas yang lai-laki dan Raden Ayu  untuk yang perempuan, ketiga adalah para cicit raja dengan gelar Raden (laki-laki) dan Raden Nganten (perempuan), keempat  atau  terakhir adalah para canggah raja dengan gelar Mas (laki-laki) dan   Mas Nganten (perempuan).[ii]
Bersama dengan raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, golongan kaum bangsawan itu menduduki strata tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat tradisional Jawa pada jaman kerajaan Mataram Islam. Semakin dekat hubungan darah seseorang dengan raja, maka semakin tinggi pula status sosialnya. Prinsip keturunan sebagai penentu status ini mengakibatkan sulinya mobilitas sosial dari orang-orang yang bukan keturunan raja. Hal iu diperparah oleh  kebiasaan dalam masyarakat tradisional yang memang cenderung untuk mempertahankan status sosial yang sudah mapan sebagai suatu keharmonisan.[iii]. Sistem  status sosial semacam itu lazim disebut dengan istilah ascribet status, yaitu status sosial yang diperoleh berdasarkan keturunan atau kelahiran tanpa memandang atau membedakan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan.
 Mengenai pembagian wilayah, sebelum semakin berkurang sebagai akibat aneksasi wilayah-wilayah kerajaan Mataram Islam oleh Belanda, terutama pada jaman pemerintahan Sultan Agung sebagai raja ketiga yang memerintah Matara Islam dari tahun 1613 – 1645, wilayah kekuasaan kerajaan Mataram masih meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta sebagian Jawa Barat.[iv]Pada masa pemerintahan raja-raja pengganti Sultan Agung wilayah kerajaan Mataram itu secara berangsur-angsur semakin menyusut sebagai akibat aneksasi yang dilakukan oleh Belanda.
Dalam sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam wilayah kerajaan dibagi menjadi 4 bagian. Yang perama adalah wilayah Kuthagara atau Kutha Negara, yan merupakan wilayah inti kerajaan Mataram. Di Kuthagara inilah terletak istana atau kraton yang sekaligus merupakan tempat tingal raja beserta keluarga besarnya, dan para pejabat tinggi kerajaan.  Kuthagara juga merupakan pusat atau ibukota kerajaan, dan tempat raja serta para pejabat tinggi kerajaan mengendalikan pemerintahan.[v]
Diluar wilayah Kutha Negara terdapat apa yang disebut wilayah Negara Agung, yang juga masih termasuk sebagai wilayah inti kerajaan, yang letaknya mengitari Kuthagara. Di wilayah inilah terletak tanah lungguhatau apanage (yang akan dibahas di belakang) para bangsawan kraton dan pejabat tinggi kerajaan yang bertempat tinggal di Kutha Negara.  Daerah daerah yang termasuk wilayah Negara Agung adalah Mataram (kira-kira sama dengan Yogyakarta yang sekarang ini), Pajang (terletak di sebelah Barat Daya Surakarta),  Sukowati (terletak di sebelah Timur Laut Surakarta sekarang ini), Begelen, Kedu, Bumi Gede atau Siti Ageng (daerah yang terletak di sebelah Barat Laut Surakarta di tambah dengan daerah di sebelah Barat Daya Semarang dengan garis batas kira-kira antara Ungaran dengan Kedung Jati.[vi]
Yang ketiga di luar wilayah Negara Agung terdapat wilayah yang disebut dengan istilah Manca Negara. Sesuai dengan posisi arahnya dari pusat kerajaan yaitu Kutha Negara, wilayah Manca Negara dibagi menjadi dua yaitu wilayah Manca Negara Wetan (Timur) dan Manca Negara Kulon (Barat). Tidak seperti wilayah Negara Agung, di Manca Negara tidak terdapat tanah-tanah lungguh atau apanage dari para bangsawan Kraton dan pejabat tinggi kerajaan. Akan tetapi pada waktu kerajaan Surakartadiperintah oleh Paku Buwana IV (1788-1820), terdapat tanah apanage yang berlokasi di wilayah Manca Negara. Hal itu sebagi akibat perang perebutan kekuasaan di Kasultanan Yogyakarta, antara raja Hamengku Buwana (HB) II melawan putranya sendiri yaitu Pangeran Adipati Anom, yang mengiginkan kedudukan tahta dari ayahnya. Adipati Anom meminta bantuan kepada Ingtgris, sedangkan  raja H.B. II meminta bantuan kepada Paku Buwana IV. Dalam pertempuran pada tahun 1812 antara kedua belah fihak yang bersengketa, H.B. II ditangkap oleh Inggris dan kraton Yogyakarta berhasil diduduki. Akhirnya Adipati Anom berhasil menjadi raja menggantikan ayahnya.[vii]Sementara itu Paku Buwana IV yang telah membantu raja Yogyakarta H.B. II dituntut oleh Inggris unuk membayar ganti rugi perang dan menyerahkan tanah di Kedu, Wisobo dan Blora. Penyerahan itu dituangkan melalui perjanjian 1 Agustus 1812.[viii]dan untuk penyerahan itu P.B. IV mendapat ganti rugi sebesar 12.000 ringgit. Sebagai ganti tanah lungguh para pejabat tinggi kerajaan di Kedu yang diambil alih Inggris, Sunan memberikan tanah-tanah di daerah Madiun dan Kediri.[ix]
 Pada masa pemerintahan raja Paku Buwana II di Mataran Kartasura yang memerintah dari tahun 1726 – 1749, wilayah Manca Negara ini secara keseluruhan meliputi daerah daerah sebagai berikut:
a.       Manca Negara Barat: Banjar, Banyumas dan pasir (Purwakerta), Ngayah, Kalibeber, Modern (Timur Banyumas), Roma (Karanganyar), Karangbolong, Warah, Tersana, Karencang, Lebalsiyu, Balapulang, Bobotsari, Kartanegara, Bentar dan Dayaluhur.
b.      Manca Negara Timur: Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Magetan, Caruban, Kaduwang, Pace, Kertasana, Sarengat dan Blitar, Jipang, Grobogan, Warung, Sela, Blora, Rawa, Kalangbret, Japan, Wirasaba (Majaagung), Barebeg dan  Jagaraga.
Di luar wilayah Mancanegara dan yang letaknya paling jauh dari pusat kerajaan terdapat apa yang disebut dengan istilah wilayah Pasisiran (pantai). Wilayah ini juga dibagi menjadi dua bagian yaitu Pasisiran Wetan (Timur), meliputi daerah-daerah pantai dari Demak ke barat, dan Pasisiran Kulon (Barat) yaitu wilayah dari daerah Jepara  ke timur. Pada masa pemerintahan Paku Buwana II daerah-daerah Pasisiran barat terdiri dari daerah-daerah: Brebes, Bentar, Labaksiyu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, Demak, dan Kaliwungu. Sementara wilayah Pasisiran timur terdiri dari daerah-daerah: Jepara, Kudus, Cengkal, Pati, Juwana, Rembang, Pajangkungan, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruhan, Bangil, Banyuwangi, Blambangan dan Madura.[x]Wilayah Pasisiran kerajaan Mataram secara berangsur-angsur menjadi menyusut sejak jaman pemerintahan Paku Buwana II sebagai akibat anenksasi oleh Belanda (VOC)
Mengenai sistem birokrasi yang dimaksud tulisan ini adalah suatu cara untuk mengatur jalannya pemerintahan. Sebagai pusat dan pemegang kekuasaan tertinggi, kedudukan raja sesungguhnya berada di luar birokrasi. Akan tetapi raja adalah pemilik aparat birokrasi itu yang bernama kaum priyayi. Aparat birokrasi itu berfungsi  sebagai alat untuk menjalankan pemerintahan dan mengendalikan rakyatnya sebagai golongan yang diperintah. Kekuasaan raja adalah bersifat mutlak, karena tidak ada lembaga atau kekuasaan lain yang bisa mengontrolnya.[xi]Dengan kata lain birokrasi kerajaan adalah alat yang dipergunakan untuk mengendalikan dan menjalankan pemerintahan. Tanggung jawab raja cukup bersifat moral yaitu sebagai saluran kepentingan kolektif dan simbol konsensus dalam menjaga stabilitas kehidupan ekonomi dan politik. Mengingat kedudukan raja yang sedemikian itu, maka terdapat pemisahan yang tegas antara raja sebagai sumber hukum dan  kekuasaan dengan aparat birokrasi sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan.[xii]
Dalam lingkungan istana, kaum bangsawan memiliki status lebih tinggi daripada aparat birokrasi. Disamping itu  raja bersama kaum bangsawanlah yang berhak mewarisi kekuasaan. Sementara itu para aparat birokrasi merupakan alat pemerintahan dari raja dalam rangka menjembatani dan mengatur hubungan antara raja dengan rakyatnya. Kedudukan para aparat birokrasi juga sangat tergantung kepada raja, karena pengangkatan dan pemecatan mereka adalah menjadi hak dan oleh raja. Hanya saja dari golongan kaum bangsawan inilah pada umumnya pejabat-pejabat tinggi kerajaan diangkat oleh raja.[xiii]Artinya para bangsawan memiliki kesempatan jauh lebih besar untuk menduduki strata tertinggi dalam struktur birokrasi daripada orang kebanyakan.
Dalam hal struktur birokrasi adalah “Patih” yang sesungguhnya menempati posisi tertinggi, dan patih inilah yang merupakan pimpinan dari seluruh aparat birokrasi. Para aparat birokrasi ini mempunyai tugas melaksanakan perintah atau kehendak raja.
Disamping menduduki strata tertinggi dalam struktur birokrasi kerajaan Mataram Islam, Patih juga sekaligus sebagai wakil raja, tangan kanan raja, kepala daerah atau kepala dari para pejabat di bawahnya yaitu para bupati. Sebelum tahun 1755 di kerajaan Mataram Surakarta terdapat Patih Lebet (dalam) dan Patih Jawi (Luar). Patih Lebet berkedudukan sebagai koordinator dan sekaligus sebagai pimpinan para pejabat tinggi di bawahnya yang tugasnya mengurusi pemerintahan dalam istana (kraton).  Akan tetapi sesudah tahun 1755 jabatan Patih Lebet dihapus, sehingga seluruh urusan pemerintahan dalam istana dilaksanakan oleh Wedana Lebet  (lihat di belakang), yang salah satu di antara mereka menjadi pimpinannya, yaitu Wedana Bupati.[xiv]
Sementara itu Patih Luar adalah koordinator dan pimpinan para Wedana  Jawi (luar), yang bertugas mengurusi pemerintahan di wilayah Negara Agung . Tugas Patih Luar itu antara lain dalam pajak  dan perekurutan tenaga kerja apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh raja. Patih luar adalah pejabat terpenting dalam pemerintahan kerajaan, karena segala perintah   untuk semua pejabat di bawahnya adalah datang dari dan melalui Patih. Hal ini sesuai dengan adat kebiasaan dalam istana kerajaan Mataram  Islam, yang memberi arti Patih sebagai parintah(perintah) atau pemerintah. Maksudnya bahwa Patih adalah sebagai pemberi perintah berdasarkan wisesa (kuasa) dari raja sebagai penguasa tertinggi.[xv]
Di bawah jabatan Patih terdapat jabatan Pangeran Adipati Anom dengan gelar lengkapnya Pangeran Adipati Anom Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. Adipati Anom adalah putra raja yang lahir dari permaisuri dan sudah ditetapkan sebagai calon pengganti raja (Putra Mahkota). Apabila suatu saat jabatan raja baru masih kosong (misalnya karena raja meninggal) dan belum dinobatkan atau ditetapkan penggantinya yang baru, maka Putra Mahkota akan secara langsung menjalankan fungsi atau tugas raja sampai ia diangkat menjadi raja yang baru.[xvi]Dalam urusan kenegaraan Adipati Anom ini menempati urutan ketiga (sesudah raja dan patih), akan tetapi di lingkungan kraton ia menduduki tempat kedua, yaitu sesudah raja. Oleh karena itulah terdapat pembedaan yang tegas antara Kepatihan (kediaman patih) dan Kadipaten atau Astana Pangeran (tempat kediaman para pangeran). Patih adalah kepala para pegawai kerajaan (priyayi), sedangkan Adipati Anom adalah kepala lingkungan kebangsawanan atau keningratan.
Pejabat birokrasi kerajaan yang sesungguhnya berada langsung di bawah patih adalah para wedana atau nayaka. Sesuai dengan wilayah kerja mereka masing-masing, jabatan wedana ini dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu Wedana Lebet (dalam) dan Wedana Jawi  (luar). Wedana Lebet bekerja di dalam istana dan terdiri dari 4 wedana yaitu Wedana Keparak Kiwa (kiri),  Wedana Keparak Tengen (kanan), Wedana Gedhong Kiwa dan Wedana Gedhong Tengen. Wedana Keparak Kiwa dan Wedana Keparak Tengen mempunyai tugas dalam bidang keprajuritan, dan masing-masing membawahi 1.000 orang prajurit.
Untuk Wedana Jawi, yang biasanya mempunyai gelar Tumenggung atau Kyai Tumenggung,  mempunyai tugas  di luar istana yaitu di wilayah Negara Agung. Sesuai dengan wilayah kerja mereka masing-masing terdapat 8  jabatan Wedana Jawi yaitu, Wedana Bumi, Wedana Bumija, Wedana Siti Agung Kiwa, Wedana Siti Agung Tengen, Wedana Sewu, Wedana Numbak Anyar, Wedana Penumping dan Wedana Panekar.[xvii]  Dengan demikian mereka adalah kepala daerah di wilayah kerja masing-masing. Namun demikian di dalam istana mereka memiliki keahlian atau tugas-tugas khusus. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Paku Buwana II  gelar dan tugas para wedana di dalam kraton adalah sebagai berikut:[xviii]
  1. Wedana Keparak Kiwa, Raden Tumengung Ngurawan, adalah ahli dalam bidang keprajuritan, kesusateraan Jawa dan Arab, ahli berbagai bahasa dan sekaligus sebagai penterjemah.
  2. Wedana Keparak Tengen, Raden Tumenggung Natawijaya, mempunyai keahlian membuat senjata, melatih berperang, melatih prajurit mata-mata dan sebagainya.
  3. Wedana Gedhomg Kiwa, Kyai Tumenggung Tirtawiguna, bertugas dalam bidang keuangan (bendahara raja) dan ahli membuat pakaian prajurit.
  4. Wedana Gedong Tengen, Kyai Tumengung Mangun Nagara, ahli dalam bidang masak-memasak dan kesenian Jawa.
  5. Wedana Sewu, Kyai Tumenggung Hanggawangsa dan Werdana Numbak Anyar, keduanya mempunyai tugas menyediakan tenaga kerja wajib untuk kerajaan, mencari dan menyediakan orang-orang cantik dan menyediakan orang-orang kuat untuk menjalankan pekerjaan berat seperti menyelam dan sebagainya.
  6. Wedana Bumi Kyai Tumengung Natayuda dan Wedana Bumija Kyai Tumenggung Mangkuyuda, keduanya mempunyai keahlian dalam bidang pertanian
.
Para Wedana ini biasanya mempunyai pembantu serbaguna yang sekalgus sebagai wakil mereka yaitu Kliwon, Penewu, mantri, lurah, bekel dan jajar. Sebelum tahun 1831, bawahan kliwon ini dibedakan menjadi tujuh pangkat secara berurutan dari yang tertingi yaitu penewu, penatus, peneket, panalawe, panigangjung dan panakikil.[xix]
Untuk wilayah Manca Negara dan Pasisiran, terdapat jabatan Wedana Bupati yang menjadi kepala para bupati. Mereka itu adalah Wedana Bupati Manca Negara Barat, Wedana Bupati Manca Timur, Wedana Bupati Pasisiran Barat dan Wedana Bupati Pasisiran Timur. Parabupati di kedua wilayah itu biasanya bergelar Tumenggung atau Raden Arya.[xx]  Mereka adalah orang-orang atau pejabat-pejabat yang ditunjuk dan diangkat oleh pusat (raja) terutama berdasarkan pertimbangan kesetiaan mereka, dan bukan berdasarkan kemampuan mereka.[xxi]Tugas para bupati itu adalah mengumpulkan pajak (upeti) yang harus dibayarkan pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada saat upacara “Grebeg”, sebagai bukti penghormatan dan kesetiaan mereka kepada raja. Disamping  itu mereka juga harus menyediakan pancen (jatah) prajurit untuk membantu pemerintah pusat pada masa perang.[xxii]



[i] A. Sartono Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat radisonal dan Kolonial, dalam Lembaran Sejarah (Yogyakarta: Seksi Penelitian Jurusan Sejarah UGM, 1969), hlm. 26.
[ii] Anoniem, Tedhakan Pranatan Tuwin Serat Warni-Warni Tumrap Nagari Surakarta, Surakarta: Koleksi Perpustakaan Radya Pustaka, No. Katalogus 165, hlm. 6 – 16
[iii] James Peacock, “The Tradisional Society and Consciousness in Java: The Durkheim Perspective”, dalam Indonesia, No. 19, April 1975, hlm. 171.
[iv] A. Sartono Kartodordjo(et al.), Sejarah Nasional Indonesia. jilid IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1977, hlm. 1.
[v] Ibid., hlm. 2.
[vi] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden, Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm. 4.
[vii]Sastra Sudaryo, Serat Pradjandjian Pranatan Lan Undhang-Undhang, Surakarta: Koleksi Perpustakaan Radyo Pustaka, No. Katalog 47, hlm. 68.
[viii] Sastra Sudaryo, Serat Pradjandjian Pranatan Lan Undhang-Undhang, hlm. 74 dan 75; G.P. Rouffaer, Vorstenlanden, hlm. 13.
[ix] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden, Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm. 74.
[x] J. Brandes. “Pustaka Radja Puwara. Register op de Prosa Omzetting van de Babad”, dalam VBG, 1900, hlm. 169 -173.
[xi] Soemarsaid Moertono, 1968. State and Statecraft in Old Java. A Study of the Later Mataram Period. New York: Ithaca, hlm. 17.
[xii] Sela Soemardjan,  1962. Sociaal Changes in Yogyakarta, New York: Ithaca, hlm.  21
[xiii] James Peacock, “The Tradisional Society and Consciousness in Java: The Durkheim Perspective”, dalam Indonesia, No. 19, April 1975, hlm. 171.
[xiv]G.P. Rouffaer, Vorstenlanden,Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm. 279.
[xv] Serat Kabar Wulanan NarpowandowoSurakarta: November, 1941, hlm. 4..
[xvi] P.J. Veth. Java: Geograpisch, Etnologisch, Historisch. Deel IV. Haarlem: De Erven F. Bohn, 1912, hlm. 572.
[xvii]G.P. Rouffaer, Vorstenlanden, Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm. 50.
[xviii] Anoniem. Sri Radya Laksono, Surakarta: Radya Pustaka: 1949, hlm. 92-95
[xix] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden,Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm.60.
[xx] B. Schrieke. “Indonesia Sociological Studies” Ruler and Realm in Early Java. Part II. Brussel: A Manteu, 1959, hlm. 161.
[xxi] Sela Soemardjan. Social Changes in Yogyakarta. Ithaca: Cornell University, 1962, hlm. 25-33.
[xxii] Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia, 1969, hlm. 27.

Comments