Pembangunan
Politik
Sejak
bekerjanya Kabinet Gotong Royong pada 2001, secara umum dapat dikatakan bahwa
proses demokratisasi yang menjadi kebijakan umum reformasi politik telah
berjalan pada jalur dan arah yang benar. Pada tingkat masyarakat, antusiasme
berpolitik melalui organisasi partai politik cukup tinggi, walaupun masih tetap
terlihat adanya ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan partisipasi
masyarakat dalam proses demokratisasi, berupa masih kuatnya budaya kekerasan
dan meluasnya praktek-praktek politik uang. Pada tingkat negara, ada konsensus
yang cukup tinggi untuk terus membenahi dan memberdayakan lembaga-lembaga
penting demokrasi pada semua tingkat, meskipun tetap menghadapi hambatan berupa
masih longgarnya nilai-nilai kepatuhan pada peraturan perundangan dan lemahnya
tradisi dalam berdemokrasi.
Pada
sisi lain, begitu tingginya harapan dan antusiasme terhadap reformasi pada
awal-awal proses demokratisasi, merupakan amanat dan pekerjaan rumah yang besar
untuk merealisasikannya menjadi hasil-hasil yang konkret untuk rakyat. Di
sinilah tantangan pemerintah dan partai-partai politik yang sesungguhnya, yakni
menyiapkan wacana berkelanjutan bagi masyarakat mengenai hakekat demokrasi,
berbagai dilema yang menyertai demokratisasi, serta peluang dan harapan dalam
demokrasi yang tidak mungkin dicapai melalui jalan otoriterianisme.
Masalah-masalah
politik dalam negeri yang menghadang diharapkan menjadi perhatian serius semua
pihak. Di samping persoalan-persoalan aktual yang muncul sebagai akibat proses
pembangunan politik, persoalan-persoalan klasik masih akan tetap menjadi beban
di dalam proses demokratisasi selanjutnya. Permasalahan kelembagaan, baik yang
menyangkut penerapan peran dan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif
maupun yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi kekuasaan dan otonomi
daerah masih menuntut perhatian yang mendalam untuk mengatasinya. Persoalan
separatisme dan ketidakpuasan politik di daerah juga adalah persoalan-persoalan
nyata yang menuntut perhatian yang segera.
Selain
itu, pemerintah yang memiliki kredibilitas dan visi internasional menjadi
faktor yang cukup penting dalam membina hubungan luar negeri, selain
faktor-faktor pembenahan dalam bidang struktural kelembagaan penyelenggara hubungan
luar negeri. Memasuki abad ke-21, persoalan-persoalan internasional memiliki
dinamika dan tingkat perubahan yang mendasar, di tengah tarik-menarik antara
berbagai kekuatan besar di dunia. Indonesia diharapkan mampu menempatkan diri
secara tepat, agar mampu mengoptimalkan pencapaian kepentingan nasionalnya,
termasuk tetap memperjuangkan asas-asas kemerdekaan dan keadilan dalam
pergaulan masyarakat internasional, serta mengedepankan pendekatan
multilateralisme dalam menyelesaikan permasalahan internasional melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi-organisasi internasional lainnya.
Pada sub bidang penyelenggaraan negara permasalahan
yang masih menjadi prioritas penanganannya sampai dengan tahun terakhir
pelaksanaan Program Pembangunan Nasional
(Propenas) tahun 2000 – 2004 antara lain masih ditemukannya
praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Upaya
yang sungguh-sungguh untuk memberantas KKN sebenarnya telah mulai dilakukan
sejak tahun 2000 dan telah memperlihatkan hasilnya. Telah banyak pelaku KKN,
baik di pusat maupun di daerah, yang diproses dan ditindak secara hukum.
Demikian pula dalam Penataan Organisasi dan Ketatalaksanaan Pemerintahan walaupun
telah dilakukan upaya pendayagunaan (efektifitas) namun belum sepenuhnya sesuai
dengan analisa jabatan dan kebutuhan
organisasi serta beban tugas. Masalah kelembagaan pemerintah baik di pusat
maupun di daerah masih terlihat belum efektif dalam menunjang pelaksanaan tugas
dan belum efisien dalam penggunaan sumber dayanya.
Di bidang pelayanan
publik, harapan masyarakat mengenai terwujudnya
pelayanan, yang cepat, tepat, murah, manusiawi dan transparan serta
tidak diskriminatif belum tercapai sebagaimana mestinya. Lebih jauh lagi
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (E-Government) dalam
pemberian pelayanan di lingkungan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah
masih sangat jauh tertinggal.
Upaya-upaya untuk
meningkatkan profesionalisme melalui sistem karier berdasarkan prestasi belum
sepenuhnya dapat terwujud. Upaya peningkatan profesionalisme aparatur tentunya
perlu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraannya. Peningkatan kesejahteraan
ini hingga saat ini masih belum dapat dilaksanakan secara fundamental mengingat
keterbatasan dana pemerintah.
Dari arah kebijakan yang telah digariskan oleh Garis-Garis Besar Haluan
Negara (1999-2004), pembangunan bidang penyelenggaraan negara dalam kurun tahun
2000–2004 berbagai hal telah dilaksanakan antara lain: terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai amanat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; penataan kelembagaan
pemerintah daerah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah;
Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS); dan mengembangkan dan
memanfaatkan teknologi dan komunikasi
elektornik dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelaksanaan pembangunan penyelenggaraan negara masih dihadapkan pada
berbagai tantangan yang meliputi: penataan kelembagaan pemerintah pusat dan
daerah yang lebih efisien dan efektif yang didukung oleh sumber daya
manusia aparatur yang profesional dan
sejahtera sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian; penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih cepat, tepat, murah,
manusiawi, transparan, dan akuntabel sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2003;
dan terwujudnya aparatur negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Dengan
memperhatikan berbagai kondisi dan perkembangan politik yang ada, maka hal-hal
positif yang sudah dicapai dalam pelaksanaan pembangunan politik dapat
dijadikan modal bagi terpeliharanya momentum proses jangka panjang konsolidasi
demokrasi. Hasil-hasil pemilihan umum
langsung anggota DPR, DPRD, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden pada tahun
2004, dapat dijadikan landasan demokratisasi selanjutnya, dengan prioritas pada
penguatan, penyempurnaan, dan penyesuaian kelembagaan penyelenggaraan negara
dan lembaga kemasyarakatan dengan
mengacu pada amanat Konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah yang terbentuk sebagai hasil Pemilu 2004 diharapkan dapat lebih
membumikan hasil-hasil proses demokratisasi, agar lebih mampu diterjemahkan ke
dalam tema-tema kesejahteraan dan keadilan di dalam kehidupan nyata masyarakat.
Untuk itu, meningkatkan transparansi dan keterbukaan informasi serta memelihara
kebebasan pers dan media massa adalah juga masalah dan tantangan yang menuntut
komitmen yang kuat terhadap demokrasi dari semua pihak. Dengan demikian
lebih dapat membangkitkan optimisme dan harapan bersama.