Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Tatacara tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 yang dijabarkan lebih rinci dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 dan Permendagri Nomor 21 Tahun
2011. Dengan berpedoman kepada Permendagri
tersebut, pemerintah daerah menyusun mekanisme dan prosedur pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD yang ditetapkan dengan Peraturan/Keputusan Kepala Daerah yang
bersangkutan.
Secara garis besar mekanisme dan prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD mencakup: (a) Laporan Realisasi Semester Pertama Anggaran Pendapatan dan
Belanja; (b) Laporan Tahunan; (c) Penetapan Raperda Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD; dan (d) Evaluasi Raperda tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.
Laporan realisasi semester pertama APBD yang disertai dengan perkiraan
realisasi semester berikutnya disiapkan oleh setiap pejabat penatausahaan
keuangan SKPD dan disampaikan kepada kepala SKPD yang bersangkutan untuk
diteruskan kepada PPKD. Selanjutnya melalui Sekretaris daerah (selaku
koordinator pengelolaan keuangan daerah), laporan ini disampaikan kepada kepala
daerah untuk akhirnya dilakukan pembahasan bersama DPRD.
Laporan tahunan merupakan penggabungan dari laporan semester pertama dan
laporan semester kedua yang disiapkan oleh setiap SKPD kepada PPKD dan
digunakan sebagai dasar penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah. Laporan
tahunan tersebut terdiri dari: (a) laporan realisasi anggaran; (b) neraca; (c)
laporan arus kas; dan (d) catatan atas laporan keuangan. Tahap akhir dari
proses pertanggungjawaban pelaksanaan APBD adalah menyerahkan laporan tahunan
tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
Setelah mendapat persetujuan dari BPK, kepala daerah menyusun Raperda
tentang pertanggungjawaban APBD dan mengirimkannya kepada DPRD untuk proses
pembahasan. Selanjutnya kepala daerah menyampaikan raperda tesebut kepada
gubernur yang bersangkutan untuk dievaluasi apakah sudah sesuai dengan
kepentingan umum dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Persetujuan gubernur tentang evaluasi raperda merupakan
faktor penentu bagi bupati/walikota untuk menetapkan raperda tersebut menjadi
perda.