Program Perbaikan Struktur Politik

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan Program ini adalah menyempurnakan konstitusi sesuai dinamika kehidupan politik nasional dan aspirasi masyarakat serta perkembangan lingkungan strategis internasional, mengembangkan institusi politik demokrasi, dan mewujudkan netralitas pegawai negeri sipil dan militer, serta memantapkan mekanisme pelaksanaannya.

Sasaran Program adalah terwujudnya struktur politik yang demokratis, yang berintikan pemisahan kekuasaan yang tegas dan keseimbangan kekuasaan serta terwujudnya peningkatan kapasitas lembaga-lembaga negara dalam menjalankan peran, dan tugasnya dan dalam menerapkan mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances)

Arah Kebijakan Program ini adalah memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada ke-bhinekatunggalika-an. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, perlu upaya rekonsiliasi nasional yang diatur dengan undang-undang; menyempurnakan Undang-Undang Dasar 1945 sejalan dengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara kesatuan dan persatuan bangsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif; menindaklanjuti paradigma baru Tentara Nasional Indonesia dengan menegaskan secara konsisten reposisi dan redefinisi Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara dengan mengoreksi peran politik Tentara Nasional Indonesia dalam kehidupan bernegara. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalam merumuskan kebijakan nasional dilakukan melalui lembaga tertinggi negara Majelis Permusyawaratan Rakyat.

b. Pelaksanaan
i. Hasil yang dicapai


Perubahan struktur politik yang sudah dilaksanakan atau dicapai dalam pembangunan politik dan demokrasi dewasa ini dapat digolongkan dalam beberapa kelompok utama. Pertama, proses amandemen (empat tahap) UUD 1945 yang secara mendasar telah mengubah beberapa konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, terciptanya format politik baru dengan disahkannya perundangan-undangan baru bidang politik, pemilu, dan susunan kedudukan MPR, dan DPR yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.[2]) Ketiga, terciptanya format hubungan pusat-daerah yang baru berdasarkan perundangan-undangan otonomi daerah yang baru.[3]) Keempat, terciptanya konsensus mengenai format baru hubungan sipil-militer dan TNI dengan Polri berdasarkan ketetapan-ketetapan MPR[4]) dan perundangan-undangan baru bidang pertahanan dan keamanan.[5]) Kelima, disepakatinya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung di dalam konstitusi dan dituangkan dalam bentuk perundang-undangan yang menjadi dasar pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada 2004.[6]) Keenam, kesepakatan mengenai diakhirinya pengangkatan TNI/Polri dan Utusan Golongan di dalam komposisi parlemen hasil Pemilu 2004 mendatang. Ketujuh, kesepakatan nasional mengenai netralitas PNS, TNI dan Polri terhadap politik.[7]) Kedelapan, konsensus perlunya payung kelembagaan yang independen khusus dalam pemberantasan korupsi[8])

Perubahan struktural yang paling mendasar selama beberapa tahun terakhir adalah terselesaikannya seluruh proses amandemen UUD 1945 melalui 4 (empat) tahap. Amandemen memiliki dua arti penting, yakni arti simbolik dan arti substansial. Makna simbolik dari amandemen konstitusi adalah membatalkan mitos yang dibangun Orde Baru, bahwa UUD 1945 bersifat sakral, sudah lengkap dan tidak boleh diubah. Mengubah UUD 1945 berarti mengembalikan posisi konstitusi sebagai dokumen kenegaraan yang tidak kebal terhadap perubahan. Konstitusi selalu mengandung kekurangan dan ketidak sempurnaan, sejalan dengan perkembangan kehidupan politik dan kenegaraan. Makna substansial dari amandemen berkaitan dengan cukup mendasarnya perubahan-perubahan yang terjadi, baik dalam teks maupun dalam semangat yang terkandung di dalamnya, sedemikian rupa mengubah secara mendasar struktur dan hubungan kelembagaan politik yang ada.

Kemajuan kelembagaan lain yang penting dicatat adalah penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh lembaga independen Komisi Pemilihan Umum (KPU), dengan pemerintah bertindak sebagai fasilitator, merupakan suatu perkembangan positif yang perlu dipelihara dalam menjaga kebebasan dan keadilan proses pemilu yang demokratis. Kelemahan-kelemahan penyelenggaraan pemilu dapat terus dibenahi dengan tidak boleh mengubah prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur, independen, bebas dan adil.

Dalam kaitannya dengan persoalan separatisme, perubahan status Darurat Militer menjadi Darurat Sipil di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sejak 19 Mei 2004 merupakan langkah maju bagi normalisasi kehidupan politik dan pemerintahan di dalam negeri.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Tantangan terbesar adalah bagaimana mengelola proses transisi struktur politik secara tepat agar mengalami keberlanjutan dan tidak kehilangan momentum menuju demokrasi yang sesungguhnya. Pada satu pihak, hasil-hasil amandemen I, II, III, IV, UUD 1945 dianggap masih banyak mengandung berbagai ketimpangan konseptual, kerancuan dan kontradiksi di antara pasal-pasal yang ada di dalamnya. Dengan demikian, persoalan konstitusi ini masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar dalam upaya menciptakan struktur politik yang demokratis. Menjadi tanda tanya besar, mampukah Indonesia mengagendakan penyusunan konstitusi yang benar-benar utuh, tidak hanya merupakan potongan-potongan gagasan-gagasan dalam mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Termasuk ke dalamnya menuntaskan persoalan hubungan kelembagaan trias politica beserta segala kompleksitasnya, mewujudkan parlemen bikameral yang sesungguhnya dengan kekuasaan serta pembagian kerja DPR dan DPD yang setara, serta meletakkan dasar-dasar lembaga yudikatif yang kuat dan berwibawa.

Pada pihak lain, ancaman-ancaman kembalinya kekuatan politik otoriter tetap besar, termasuk yang menginginkan kembali UUD 1945 pra-amandemen serta mengaktifkan kembali TNI ke dalam kegiatan politik. Oleh karena itu, konsolidasi demokrasi harus sangat ekstra hati-hati agar tidak masuk ke dalam perangkap yang sama seperti yang terjadi pada proses demokratisasi era konstituante yang dibubarkan hanya melalui sebuah Dekrit Presiden pada 1959. Ancaman nyata lainnya adalah bahaya disintegrasi nasional serta disintegrasi sosial yang merupakan produk langsung dari ketidakadilan serta intoleransi sosial politik yang sudah berakar pada masa lalu, di dalam sistem politik yang sentralistis dan otoriter.

Permasalahan selanjutnya adalah masih sangat kuatnya pengaruh kepentingan kelompok dalam proses perumusan perundang-undangan yang mengatur kehidupan kemasyarakatan di segala bidang. Hal ini kemudian mengalami komplikasi dengan permasalahan etika politik yang rawan manipulasi, akuntabilitas politik yang rendah, permasalahan korupsi yang merata di lembaga-lembaga penting penyelenggaraan negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sebagai konsekuensi logisnya adalah terbengkalainya penyelesaian banyak produk perundangan-undangan; kurang tepatnya prioritas dalam legislasi yang menjadi tugas parlemen dan pemerintah, sehingga perundang-undangan yang dianggap strategis dalam mendukung proses demokrasi terus mengalami penundaan; serta kurangnya kualitas perundang-undangan sebagai produk hukum yang diharapkan memayungi kepentingan seluruh golongan masyarakat.

iii. Tindak lanjut

Untuk mewujudkan kehidupan kelembagaan yang konstitusional, maka kepastian hukum pada tingkat konstitusi merupakan prioritas bersama yang utama. Mahkamah Konstitusi[9]) merupakan lembaga penting yang perlu dijaga dan dipelihara independensi, kapasitas dan integritasnya. Keputusan-keputusannya yang bersifat final dalam melakukan pengujian berbagai produk perundang-undangan terhadap konstitusi, diharapkan dapat memberikan terobosan-terobosan hukum yang strategis dan berdampak meluas dalam kehidupan politik, termasuk hal-hal yang berdampak pada pengembangan civil society yang toleran, antidiskriminasi, hubungan sipil-militer yang sesuai dengan asas-asas demokrasi, persoalan konflik politik dan dinamika kelembagaan penyelenggaraan negara.

Selain itu, keberadaan lembaga parlemen bikameral, menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian yang relevan, sesuai dengan makna hakiki keberadaan sistem bikameral itu sendiri. Sistem bikameral selain untuk menciptakan parlemen yang lebih mendekati keseimbangan antara aspirasi politik nasional dan aspirasi politik lokal, juga untuk menciptakan checks and balances secara internal, agar tidak tercipta hegemoni yang terlalu besar di dalam parlemen. Berkaitan dengan itulah, maka diperlukan penyempurnaan semua aspek-aspek yang berkaitan dengan hubungan checks and balances di antara lembaga-lembaga penyelenggara negara, dengan tekanan cukup besar diharapkan pada penguatan posisi DPD (Dewan Perwakilan Daerah).

Tindak lanjut lain yang perlu mendapat perhatian adalah memperjelas arah otonomi daerah dan mempercepat upaya pelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai salah satu prasyarat penting bagi terciptanya budaya politik yang lebih adil dan damai. Baik otonomi daerah maupun rekonsiliasi nasional memiliki urgensi yang tinggi untuk diprioritaskan, dalam upaya memperkuat dasar-dasar persatuan nasional Indonesia di masa mendatang

Pada satu sisi, walaupun desentralisasi sudah merupakan konsensus yang diatur melalui perundang-undangan, namun diakui struktur peraturan perundangan pendukung yang ada dewasa ini dapat dianggap belum mampu merumuskan secara komprehensif mengenai penerapan otonomi daerah, serta belum mampu mengatur dan mengakomodasikan secara jelas berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara pusat dengan daerah, serta antara daerah satu dengan daerah lainnya. Ini adalah pekerjaan rumah yang menuntut keseriusan dalam mengelola dan mengkoordinasikan segenap sumber daya yang ada.

Pada pihak lain, ada keperluan untuk mempercepat upaya pelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai salah satu prasyarat penting bagi terciptanya budaya politik yang lebih adil dan damai. Upaya-upaya rekonsiliasi yang terlembaga bukanlah dimaksudkan untuk menggantikan lembaga pengadilan, melainkan lebih difokuskan pada penyelesaian konflik-konflik di masa lalu secara politik, dengan sasaran utama menciptakan suasana perdamaian yang sesungguhnya, agar segenap energi bangsa dapat dikerahkan secara optimal ke arah masa depan.


[1]) Perbaikan struktur politik dititikberatkan pada proses “pelembagaan” demokrasi
[2]) UU No.2/1999 tentang Parpol; UU No. 3/1999 tentang Pemilu dan UU No.4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Untuk Pemilu 2004 sudah disahkan perundang-undangan politik yang baru, yakni UU No. 31/2002 tentang Parpol, UU No. 12/2003 tentang Pemilu, dan UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
[3]) UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
[4]) Tap. MPR No. VII/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri ; Tap MPR No. VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
[5]) UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No.2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
[6]) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
[7]) Netralitas PNS telah diatur dalam UU No. 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
[8]) Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
[9]) UUD 1945, Pasal 24C, Ayat 1 menyebutkan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.