Sejarah DNS
Sebelum adanya DNS, pertama kali tepatnya tahun
1970-an dalam jaringan ARPAnet (cikal bakal jaringan Internet yang ada
sekarang) digunakan pemetaan dengan bentuk tabel host pada berkas HOSTS.TXT.
Jaringan dengan HOSTS.TXT pada tiap host-nya
Berkas
ini berisi nama host dan alamat IP serta pemetaannya dari seluruh
mesin/komputer yang terhubung dalam jaringan. Ketika ada komputer lain yang
terhubung ke jaringan ARPAnet maka masing-masing komputer dalam jaringan
tersebut harus memperbaharui berkas HOSTS.TXT-nya. Pada saat itu cara
meng-update berkas HOSTS.TXT dengan menggunakan ftp setiap satu
atau dua minggu sekali. Masalah muncul ketika jaringan ARPAnet yang tadinya
kecil tersebut kemudian menjadi Internet yang semakin hari semakin besar.
Kesulitan meng-update isi berkas HOSTS.TXT karena jumlah nama
mesin/komputer yang harus dituliskan ke berkas tersebut sudah terlalu besar dan
tidak efisien.Lalu muncul ide untuk membuat sistem database terdistribusi yang mempunyai data mengenai pemetaan nama host ke alamat IP dan sebaliknya. Dengan adanya pendistribusian database nama host dan alamat IP, maka tiap organisasi yang memiliki jaringan di dalam domain tertentu hanya bertanggung jawab terhadap database informasi pemetaan nama host dan alamat IP pada jaringannya saja yang biasa disebut zone. Administrasi domain tersebut dilakukan secara lokal tetapi informasi itu dapat diakses oleh semua komputer di Internet.
Karena sifat database yang terdistribusi ini, maka dibutuhkan suatu mekanisme pengaksesan informasi bagi host lain pada database yang terdistribusi untuk menemukan informasi host atau jaringan yang dipunyai oleh suatu organisasi.
Dan pada tahun 1984, Paul Mockapetris mengusulkan sistem database terdistribusi ini dengan Domain Name System (DNS) yang dideskripsikan dalam RFC 882 dan 883. Sistem ini digunakan sampai sekarang pada jaringan khususnya Internet.