Permodalan merupakan salah satu faktor produksi penting dalam usaha pertanian. Sayangnya, aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan yang disediakan masih sangat terbatas, terutama bagi petani-petani yang menguasai lahan sempit dan petani tanpa lahan yang merupakan komunitas terbesar dari masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak jarang ditemui bahwa kekurangan biaya merupakan kendala bagi petani dalam mengelola dan mengembangkan usahatani.
Kelembagaan ekonomi pedesaan tidak berkembang akibat terlalu banyaknya campur tangan yang cenderung berlebihan dari sistem birokrasi pemerintah. Tindakan ini, telah menciptakan kondisi informasi yang tidak simetris antara sebagian besar masyarakat (petani) dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada kenyataannya kondisi seperti ini melumpuhkan sebagian kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dan berperanan di masyarakat dalam pemerataan pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan pertanian (Sudaryanto dan Syukur, 2000). Lemahnya peranan kelembagaan pembiayaan pertanian tersebut membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan (Syukur et al, 2003). Selanjutnya terbukti bahwa campur tangan pemerintah yang berlebihan membawa implikasi yang luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan kemampuan, informasi pasar dan lain sebagainya (Syukur dan Windarti, 2001).
Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat pedesaan yang akses terhadap sumber-sumber permodalan (Braverman dan Guasch, 1989). Padahal, akses terhadap kredit permodalan merupakan hak dasar manusia yang fundamental dalam meningkatkan usahanya, pendapatannya dan kebutuhan dasarnya (Yunus, 1981). Dengan perkataan lain bahwa seseorang yang akses terhadap sumber-sumber permodalan akan dapat mengoptimalkan usahanya untuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Memang diketahui bahwa telah banyak dilakukan upaya-upaya yang mengimplementasikan skim pembiayaan yang diharapkan dapat menjangkau sebagian besar masyarakat yang bergerak di sektor pertanian di pedesaan.
Di wilayah pedesaan, terdapat dua jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan (Syukur et al, 2003), yaitu pasar pembiayaan formal dan pasar pembiayaan informal. Pembiayaan formal dipilah lagi ke dalam pembiayaan program dan pembiayaan non program. Pembiayaan non program beroperasi di pedesaan yang dalam mekanisme pengajuan dan penyalurannya mengikuti mekanisme pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan diberlakukan secara formal, seperti tingkat bunga yang dibebankan adalah tingkat bunga komersial dan dilayani oleh lembaga formal. Sementara pembiayaan program adalah skim pembiayaan yang dalam implementasinya dikaitkan dengan suatu program pemerintah yang umumnya program sektoral. Biasanya program tersebut merupakan upaya sektoral untuk mencapai sasaran tertentu, misalnya KKP (Kredit Ketahanan Pangan) untuk meningkatkan produksi pangan, Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UUPKA) dan lain-lain. Selain itu, masih banyak lagi program-program serupa yang telah diimplementasikan, termasuk program pembiayaan yang mendukung pengembangan usaha pertanian di pedesaan. Dalam pelaksanaannya, program tersebut diakui bahwa masih banyak hambatan yang dihadapi.
Aturan main pada skim pembiayaan bagi usaha pertanian bersifat rigid yang mengakibatkan petani dan masyarakat pedesaan tidak mudah mengakses sumber-sumber pembiayaan yang ada saat ini. Kebijakan pembiayaan yang diharapkan untuk mendukung pengembangan usaha pertanian dirasakan sangat lemah dan cenderung mengabaikan sektor ini. Selama kurun waktu satu dasa warsa terakhir alokasi kredit yang disalurkan untuk sektor pertanian sangat rendah dibandingkan dengan untuk sektor-sektor lain. Sistem perbankan konvensional yang berlaku saat ini seakan-akan tidak tertarik terhadap sektor pertanian. Timpangnya alokasi kredit tersebut bukanlah semata-mata disebabkan rendahnya kemampuan sektor ini dalam hal mengembalikan kredit, tapi lebih disebabkan karena keberfihakan yang sangat rendah dan aturan main (kelembagaan) yang kaku.
Berbagai jenis pembiayaan di sektor pertanian, baik yang formal (program dan non program) maupun informal telah diaplikasikan pada masyarakat. Akan tetapi, dalam pelaksanaan pembiayaan tersebut diakui masih menghadapi berbagai kendala dan hambatan, tidak hanya di pihak penyedia dana tapi juga di pihak penerima dana sebagai pelaku usaha.
Di sisi lain, walaupun pemerintah secara nasional telah banyak mengintroduksi berbagai skim pembiayaan untuk sektor pertanian, namun efektivitas dan keberlanjutannya serta peranannya dalam mendorong pengembangan pertanian, masih jauh dari yang diharapkan. Pada kenyataannya, secara mikro sebagian pelaku usaha pertanian masih memiliki tingkat aksesibilitas yang rendah terhadap sumber-sumber permodalan. Hal ini terkait dengan berbagai faktor diantaranya tidak dapat menyediakan agunan fisik ataupun pihak-pihak lain yang dapat menjamin di samping biaya transaksi pinjaman yang dinilai sangat tinggi.
Dari pengalaman beberapa program pembiayaan yang dilaksanakan, intermediary system sangat penting untuk mendapat perhatian karena dinilai merupakan salah satu kunci keberhasilan, seperti Bimas. Pemerintah berperanan sebagai jembatan dalam penyaluran permodalan. Artinya, pemerintah dapat berperanan dan mempunyai kekuatan fungsi intermediasi.
Penelitian terhadap sistem pembiayaan mikro di sektor pertanian menjadi sangat penting bila pengembangan usaha pertanian di pedesaan merupakan salah satu sumbangan dalam mencapai peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pengelolaan sumberdaya secara optimal, perlu didukung ketersediaan modal usaha yang cukup. Walaupun modal bukanlah satu-satunya faktor produksi usaha pertanian, dalam batas-batas tertentu modal merupakan faktor kritikal. Kecukupan modal melalui bantuan pembiayaan berfungsi efektif untuk mencapai tingkat optimal dalam hal skala usaha dan adopsi teknologi baik teknologi produksi maupun pasca panen. Dari upaya ini diharapkan para pelaku usaha pertanian dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
Kelembagaan ekonomi pedesaan tidak berkembang akibat terlalu banyaknya campur tangan yang cenderung berlebihan dari sistem birokrasi pemerintah. Tindakan ini, telah menciptakan kondisi informasi yang tidak simetris antara sebagian besar masyarakat (petani) dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada kenyataannya kondisi seperti ini melumpuhkan sebagian kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dan berperanan di masyarakat dalam pemerataan pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan pertanian (Sudaryanto dan Syukur, 2000). Lemahnya peranan kelembagaan pembiayaan pertanian tersebut membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan (Syukur et al, 2003). Selanjutnya terbukti bahwa campur tangan pemerintah yang berlebihan membawa implikasi yang luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan kemampuan, informasi pasar dan lain sebagainya (Syukur dan Windarti, 2001).
Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat pedesaan yang akses terhadap sumber-sumber permodalan (Braverman dan Guasch, 1989). Padahal, akses terhadap kredit permodalan merupakan hak dasar manusia yang fundamental dalam meningkatkan usahanya, pendapatannya dan kebutuhan dasarnya (Yunus, 1981). Dengan perkataan lain bahwa seseorang yang akses terhadap sumber-sumber permodalan akan dapat mengoptimalkan usahanya untuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Memang diketahui bahwa telah banyak dilakukan upaya-upaya yang mengimplementasikan skim pembiayaan yang diharapkan dapat menjangkau sebagian besar masyarakat yang bergerak di sektor pertanian di pedesaan.
Di wilayah pedesaan, terdapat dua jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan (Syukur et al, 2003), yaitu pasar pembiayaan formal dan pasar pembiayaan informal. Pembiayaan formal dipilah lagi ke dalam pembiayaan program dan pembiayaan non program. Pembiayaan non program beroperasi di pedesaan yang dalam mekanisme pengajuan dan penyalurannya mengikuti mekanisme pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan diberlakukan secara formal, seperti tingkat bunga yang dibebankan adalah tingkat bunga komersial dan dilayani oleh lembaga formal. Sementara pembiayaan program adalah skim pembiayaan yang dalam implementasinya dikaitkan dengan suatu program pemerintah yang umumnya program sektoral. Biasanya program tersebut merupakan upaya sektoral untuk mencapai sasaran tertentu, misalnya KKP (Kredit Ketahanan Pangan) untuk meningkatkan produksi pangan, Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UUPKA) dan lain-lain. Selain itu, masih banyak lagi program-program serupa yang telah diimplementasikan, termasuk program pembiayaan yang mendukung pengembangan usaha pertanian di pedesaan. Dalam pelaksanaannya, program tersebut diakui bahwa masih banyak hambatan yang dihadapi.
Aturan main pada skim pembiayaan bagi usaha pertanian bersifat rigid yang mengakibatkan petani dan masyarakat pedesaan tidak mudah mengakses sumber-sumber pembiayaan yang ada saat ini. Kebijakan pembiayaan yang diharapkan untuk mendukung pengembangan usaha pertanian dirasakan sangat lemah dan cenderung mengabaikan sektor ini. Selama kurun waktu satu dasa warsa terakhir alokasi kredit yang disalurkan untuk sektor pertanian sangat rendah dibandingkan dengan untuk sektor-sektor lain. Sistem perbankan konvensional yang berlaku saat ini seakan-akan tidak tertarik terhadap sektor pertanian. Timpangnya alokasi kredit tersebut bukanlah semata-mata disebabkan rendahnya kemampuan sektor ini dalam hal mengembalikan kredit, tapi lebih disebabkan karena keberfihakan yang sangat rendah dan aturan main (kelembagaan) yang kaku.
Berbagai jenis pembiayaan di sektor pertanian, baik yang formal (program dan non program) maupun informal telah diaplikasikan pada masyarakat. Akan tetapi, dalam pelaksanaan pembiayaan tersebut diakui masih menghadapi berbagai kendala dan hambatan, tidak hanya di pihak penyedia dana tapi juga di pihak penerima dana sebagai pelaku usaha.
Di sisi lain, walaupun pemerintah secara nasional telah banyak mengintroduksi berbagai skim pembiayaan untuk sektor pertanian, namun efektivitas dan keberlanjutannya serta peranannya dalam mendorong pengembangan pertanian, masih jauh dari yang diharapkan. Pada kenyataannya, secara mikro sebagian pelaku usaha pertanian masih memiliki tingkat aksesibilitas yang rendah terhadap sumber-sumber permodalan. Hal ini terkait dengan berbagai faktor diantaranya tidak dapat menyediakan agunan fisik ataupun pihak-pihak lain yang dapat menjamin di samping biaya transaksi pinjaman yang dinilai sangat tinggi.
Dari pengalaman beberapa program pembiayaan yang dilaksanakan, intermediary system sangat penting untuk mendapat perhatian karena dinilai merupakan salah satu kunci keberhasilan, seperti Bimas. Pemerintah berperanan sebagai jembatan dalam penyaluran permodalan. Artinya, pemerintah dapat berperanan dan mempunyai kekuatan fungsi intermediasi.
Penelitian terhadap sistem pembiayaan mikro di sektor pertanian menjadi sangat penting bila pengembangan usaha pertanian di pedesaan merupakan salah satu sumbangan dalam mencapai peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pengelolaan sumberdaya secara optimal, perlu didukung ketersediaan modal usaha yang cukup. Walaupun modal bukanlah satu-satunya faktor produksi usaha pertanian, dalam batas-batas tertentu modal merupakan faktor kritikal. Kecukupan modal melalui bantuan pembiayaan berfungsi efektif untuk mencapai tingkat optimal dalam hal skala usaha dan adopsi teknologi baik teknologi produksi maupun pasca panen. Dari upaya ini diharapkan para pelaku usaha pertanian dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha, yang selanjutnya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
Dari kondisi seperti tersebut diatas, penelitian spesifik dan mendalam yang meliputi berbagai aspek lalu diperlukan. Review tentang kebijakan pembiayaan mikro sektor pertanian di pedesaan merupakan informasi yang penting. Disamping itu, hasil identifikasi tentang lembaga-lembaga keuangan mikro yang melayani pembiayaan usaha pertanian dengan aturan dan representasi yang diberlakukan juga sangat dibutuhkan. Sementara, identifikasi tentang hambatan-hambatan dalam realisasi pembiayaan usaha pertanian juga bermanfaat. Selanjutnya identifikasi tentang persepsi petani terhadap kegiatan pembiayaan mikro juga sangat berguna yang meliputi manfaat dan kerugian sebagai partisipan, kelemahan, dan saran-saran penyempurnaan di waktu mendatang.
Comments
Post a Comment