ETIKA PROFESI HUKUM & LUHUR # PROFESI LUHUR
Franz Magnis Suseno membedakan profesi menjadi profesi pada umumnya dan profesi luhur. Profesi luhur merupakan profesi yang menekankan pada pengabdian kepada masyarakat sehingga merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat dengan motivasi utama bukan untuk memperoleh nafkah dari pekerjaannya.
Profesi pada umumnya terdapat dua hal yang harus ditegakkan yaitu, menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab baik terhdap pekerjaan maupun hasil dari pekerjaan, serta tanggung jawab terhadap dampak pekerjaan yang dilakukan tidak sampai merusak lingkungan hidup (berkaitan dengan prinsip kedua, hormat terhadap hak-hak orang lain.
Terdapat pula dua kategori untuk profesi luhur yaitu, mendahulukan orang yang dibantu, serta mengabdi pada tuntutan luhur profesi.
Pelaksanaan profesi luhur yang baik menurut Magnis Suseno harus didukung dengan moralitas yang tinggi. Berkaitan dengan moralitas tinggi magnis menyatakan terdapat tiga ciri :
ETIKA PROFESI HUKUM & LUHUR # ETIKA PROFESI HUKUM
Etika sebagai cabang filsafat merupakan ilmu terapan atau ilmu yang menyangkut praktis kehidupan. Etika profesi hukum merupakan etika yang berasal dari kenyataan empiris dalam praktek hukum sehingga tidak dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip moral secara umum.
Etika profesi agar menjadi etika yang berkualitas juga harus merujuk dari berbagai cabang ilmu hukum seperti sejarah hukum, psikologi hukum, dan sosiologi hukum.
Etika profesi hukum temasuk kategori etika normatif yang berupaya menindaklanjuti hal-hal yang telah digambarkan secara objektif. Etika normatif memberikan penilaian sikap baik dan buruk, selanjutnya penyandang profesi dapat memilihnya.
Penyandang profesi hukum dalam melaksanakan tugas profesinya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat etis, karena eksis untuk melayani anggota masyarakat ketika masyarakat berhadapan langsung dengan suatu otoritas kekuasaan. Sebagai contoh seorang terdakwa membutuhkan jasa Advokat pada saat menghadapi otoritas peradilan dan memang Advokat oleh peraturan perundangan diberikan kewenangan untuk melakukan hal tersebut, maka profesi hukum harus bersikap dan berprilaku menurut kaidah hukum serta kaedah sosial. Kewenangan inilah menyebabkan profesi hukum membutuhkan muatan moralitas yang lebih tinggi dibandingkan profesi lain.
Sebagian ahli hukum dan/ ahli etika beranggapan profesi hukum harus tunduk pada kaedah hukum, dengan tanpa memperhatikan kaedah sosial selain hukum seperti adat setempat yang berkembang dan berlaku dimasyarakat. Pandangan etis atau tidak etis tidak hanya dikalangan profesi hukum itu sendiri karena harus berhubungan dengan masyarakat dan masyarakat tetaplah sebagai penilai utama apakah penegak hukum bermoral ataukah tidak. Tidak dapat dipungkiri fungsi profesi hukum untuk melayani kepentingan masyarakat dan masyarakat memiliki hak untuk melaporkan kepada dewan kehormatan apabila profesi hukum dipandang melanggar etika profesi. Sesuai dengan pendapat Sidharta: “disisi lain, para penyandang profesi hukum senantiasa bersinggungan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat tetap tetapi ada pula yang mengalami perubahan, mengikuti perkembangan masyarakat pada suatu temapat dan waktu tertentu. Nilai-nilai tetap ini adalah nilai-nilai dasar, dan yang cenderung berubah itu adalah nilai-nilai instrumentalnya.
Karena interaksi ini, profesi hukum bukan lagi profesi yang bebas nilai. Ia juga bukan profesi yang demikian eksklusifnya yang berdiri diatas menara gading dan karena itu memiliki sistem nilai yang secara ekstrem berbeda dengan nilai-nilai masyarakat pada umumnya. Profesi hukum adalah profesi yang berintegrasi dengan masyarakat luas, sehingga nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat juga harus dijadikan ukuran dalam etika profesi tersebut, demikian pula sebaliknya”.
Kaum legisme= asas hukum harus ditegakkan, sedangkan kaum realisme=kepastian hukum dikejar akan melukai hukum membuat hukum menjadi kaku karena menggeneralisir semua keadaan.
Etika profesi harus dinamis mengikuti perkembangan masyarakat sesuai dengan dengan prinsip-prinsip moral yang berkembang dan hidup di masyarakat, karena logika dari terbentuknya hukum karena kehendak masyarakat guna kepentingan masyarakat. Cicero mengemukakan dimana ada masyarakat disana pasti ada hukum (ubi societas ibi ius).
Beberapa nilai moral profesi hukum yang harus mendasari kepribadian profesional hukum sebagai berikut:
Profesi pada umumnya terdapat dua hal yang harus ditegakkan yaitu, menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab baik terhdap pekerjaan maupun hasil dari pekerjaan, serta tanggung jawab terhadap dampak pekerjaan yang dilakukan tidak sampai merusak lingkungan hidup (berkaitan dengan prinsip kedua, hormat terhadap hak-hak orang lain.
Terdapat pula dua kategori untuk profesi luhur yaitu, mendahulukan orang yang dibantu, serta mengabdi pada tuntutan luhur profesi.
Pelaksanaan profesi luhur yang baik menurut Magnis Suseno harus didukung dengan moralitas yang tinggi. Berkaitan dengan moralitas tinggi magnis menyatakan terdapat tiga ciri :
- Berani berbuat dengan bertekad untuk brtindak sesuai dengan tuntutan profesi;
- Sadar akan kewajibannya, dan
- Memiliki idealisme yang tinggi.
ETIKA PROFESI HUKUM & LUHUR # ETIKA PROFESI HUKUM
Etika sebagai cabang filsafat merupakan ilmu terapan atau ilmu yang menyangkut praktis kehidupan. Etika profesi hukum merupakan etika yang berasal dari kenyataan empiris dalam praktek hukum sehingga tidak dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip moral secara umum.
Etika profesi agar menjadi etika yang berkualitas juga harus merujuk dari berbagai cabang ilmu hukum seperti sejarah hukum, psikologi hukum, dan sosiologi hukum.
Etika profesi hukum temasuk kategori etika normatif yang berupaya menindaklanjuti hal-hal yang telah digambarkan secara objektif. Etika normatif memberikan penilaian sikap baik dan buruk, selanjutnya penyandang profesi dapat memilihnya.
Penyandang profesi hukum dalam melaksanakan tugas profesinya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat etis, karena eksis untuk melayani anggota masyarakat ketika masyarakat berhadapan langsung dengan suatu otoritas kekuasaan. Sebagai contoh seorang terdakwa membutuhkan jasa Advokat pada saat menghadapi otoritas peradilan dan memang Advokat oleh peraturan perundangan diberikan kewenangan untuk melakukan hal tersebut, maka profesi hukum harus bersikap dan berprilaku menurut kaidah hukum serta kaedah sosial. Kewenangan inilah menyebabkan profesi hukum membutuhkan muatan moralitas yang lebih tinggi dibandingkan profesi lain.
Sebagian ahli hukum dan/ ahli etika beranggapan profesi hukum harus tunduk pada kaedah hukum, dengan tanpa memperhatikan kaedah sosial selain hukum seperti adat setempat yang berkembang dan berlaku dimasyarakat. Pandangan etis atau tidak etis tidak hanya dikalangan profesi hukum itu sendiri karena harus berhubungan dengan masyarakat dan masyarakat tetaplah sebagai penilai utama apakah penegak hukum bermoral ataukah tidak. Tidak dapat dipungkiri fungsi profesi hukum untuk melayani kepentingan masyarakat dan masyarakat memiliki hak untuk melaporkan kepada dewan kehormatan apabila profesi hukum dipandang melanggar etika profesi. Sesuai dengan pendapat Sidharta: “disisi lain, para penyandang profesi hukum senantiasa bersinggungan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat tetap tetapi ada pula yang mengalami perubahan, mengikuti perkembangan masyarakat pada suatu temapat dan waktu tertentu. Nilai-nilai tetap ini adalah nilai-nilai dasar, dan yang cenderung berubah itu adalah nilai-nilai instrumentalnya.
Karena interaksi ini, profesi hukum bukan lagi profesi yang bebas nilai. Ia juga bukan profesi yang demikian eksklusifnya yang berdiri diatas menara gading dan karena itu memiliki sistem nilai yang secara ekstrem berbeda dengan nilai-nilai masyarakat pada umumnya. Profesi hukum adalah profesi yang berintegrasi dengan masyarakat luas, sehingga nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat juga harus dijadikan ukuran dalam etika profesi tersebut, demikian pula sebaliknya”.
UBI JUS INCERTUM,IBI JUS NULLUM ><SUMMUN IUS SUMMA INJURIA.
Kaum legisme= asas hukum harus ditegakkan, sedangkan kaum realisme=kepastian hukum dikejar akan melukai hukum membuat hukum menjadi kaku karena menggeneralisir semua keadaan.
Etika profesi harus dinamis mengikuti perkembangan masyarakat sesuai dengan dengan prinsip-prinsip moral yang berkembang dan hidup di masyarakat, karena logika dari terbentuknya hukum karena kehendak masyarakat guna kepentingan masyarakat. Cicero mengemukakan dimana ada masyarakat disana pasti ada hukum (ubi societas ibi ius).
Beberapa nilai moral profesi hukum yang harus mendasari kepribadian profesional hukum sebagai berikut:
- Kejujuran. Faktor kejujuran memegang kendali yang terbesar untuk mengarah pada profesional karena profesi mempunyai keahlian khusus,sedangkan masyarakat (orang awam) tidak/kurang memahami dapat dengan mudah menjadi obyek pembohongan/ penipuan;
- Bersikap apa adanya. Mempunyai pengertian menghayati dan menunjukkan diri dengan apa adanya, berani memberi nasihat kepada klien sesuai dengan kondisi hukum klien
- Bertanggung jawab. Dalam melaksanakan tugas profesinya dapat membantu segala persoalan yang berkaitan dengan profesinya, menjalankan tugas sesuai dengan peraturan perundangan dan kode etik. Menuntaskan segala tanggung jawab yang diembannya hingga tuntas atau telah ada penyelesaian dan pemberesan.
- Kemandirian moral. Mengandung pengertian melaksanakan etika yang telah disepakati bersama oleh organisasi profesi yang dituangkan dalam kode etik. Tidak terpengaruh oleh pendapat pihak lain, sehingga berpegang teguh pada moral profesinya dengan analisa yuridis yang mandiri.
- Keberanian. Merupakan keberanian untuk bersikap dalam melaksanakan tugasnya dengan segala resiko yang dihadapi sesuai asas dan ketentuan hukum. Berani menolak segala bentuk korupsi kolusi nepotisme.
- Kesetiaan. Setia terhadap hukum dan penegakan hukum serta kode etik. Setia tehadap profesi mulia yang diembannya, setia terhadap moralitas yang tinggi, Setia terhadap bangsa dan negara.
Comments
Post a Comment