Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Hak dan kewajiban suami isteri menurut hukum Islam tidak sesuai dengan CEDAW. Hak dan kewajiban tersebut merupakan kewajiban suami isteri bersaling, kedudukan suami isteri, kewajiban suami sendiri, kewajiban isteri sendiri dan penegakannya.

Kewajiban suami isteri bersaling ditetapkan selaras dengan CEDAW. Suami isteri wajib menegakkan rumah tangga yang `sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat'.[1] Rumah tangga tersebut perlu dicapai dalam tempat kediaman yang tetap dan dipilih suami isteri bersama.[2] Selanjutnya, suami isteri wajib `saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain'.[3] Akhirnya, suami isteri wajib `mengasuh dan memlihara anak anak maupun memelihara kehormatannya'.[4]

Kewajiban suami isteri bersaling sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan. Dalam hukum Islam, persamaan tersebut terdapat dalam kewajiban suami isteri bersaling yang dilaksanakan bersama dan tanpa perbedaan antara kedudukan mereka.

Kedudukan suami isteri maupun kewajibannya sendiri melanggar CEDAW. Kedudukan suami isteri digariskan UU No.1/1974 beserta KHI. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.[5] Namun demikian, hak dan kedudukan suami isteri seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.[6] Kedua pihak masih berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri.[7]

Dengan ketentuan tersebut, hukum Islam menegaskan bahwa suami dan isteri sederajat meskipun mereka mempunyai kedudukan yang beda. Perbedaan antara kedudukan mereka tersebut tidak didasarkan diskriminasi dan tidak dimaksud untuk mengurangi kedudukan isteri. Melainkan, perbedaan tersebut adalah pembagian tugas antara suami isteri berdasarkan sifatnya masing masing.[8] Ny. Soemiyati menjelaskan sifat tersebut. Pria lebih rasional dan lebih kuat. Selanjutnya, pria `tidak mudah terpengaruh segala macam yang datang dari luar dan juga mempunyai daya berjuang untuk hidup'.[9]

Sedangkan wanita `dipengaruhi sifat emosional yang dapat dipakai sebagai modal untuk melaksanakan tugas yang menuntu ketabahan dan melakukan mpemilharaan yang susah puyah'.[10] Wanita pula bersifat `penuh kesabaran ketelitian, perasaan yang halus dan sifat sifat inilah yang dibutuhkan merawat dan membesarkan anak mulai dari lahir sampai menjadi manusia'.[11]

Kewajiban suami sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.[12] Suami pula wajib memberi pendidikan pada isterinya baik terhadap agama atau pengetahuan lain.[13] Selanjutnya, suami menanggung nafkah, kiswan dan tempat kediaman bagi isteri. Suami pula menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan maupun biaya pengobatan bagi isteri dan anak.[14]

Akhirnya, suami bertanggung jawab terhadap tempat kediaman keluarganya. Tempat kediaman itu disediakan `untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain sehingga mereka merasa aman dan tenteram'.[15] Tempat kediaman tersebut pula `berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat alat rumah tangga'.[16] Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya tersebut.[17] Suami yang beristeri lebih dari seorang harus melakukan kewajibannya terhadap masing masing isterinya secara sama.[18] Dengan persetujuan para isterinya, suami boleh menempatkan para isterinya dalam satu tempat kediaman.[19]

Kewajiban isteri sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai ibu rumah tangga. Kewajiban isteri adalah `berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas batas yang dibenarkan oleh hukum Islam'.[20] Selanjutnya, isteri `menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya'.[21] Kewajiban suami dan isteri sendiri tersebut berdasarkan pandangan bahwa suami bertanggung jawab membayar kehidupan keluarga sedangkan isteri hanya perlu menerima pembayaran suaminya.[22]

Kedudukan suami isteri maupun kewajibannya sendiri melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Persamaan tanggung jawab tersebut berarti bahwa setiap tugas dalam perkawinan boleh dilakukan baik oleh suami atau isteri menurut pemilihannya. Misalnya, kalau seorang suami merasa kuat dan rasional dan seorang isteri merasa emosional, suami tersebut boleh memilihi tugas memberi keperluan hidup keluarga dan seorang isteri boleh memilihi tugas rumah tangga.

Sebaliknya, kalau seorang isteri merasa kuat dan rasional dan seorang suami merasa emosional, isteri tersebut boleh memlihi tugas memberi keperluan hidup keluarga dan suami tersebut boleh memilihi tugas rumah tangga. Ketentuan hukum Islam tidak menjamin persamaan tersebut. Bahkan, hukum Islam membedakan tanggung jawab suami isteri dalam perkawinan berdasarkan stereotip terhadap sifat pria dan sifat wanita.

Penegakan kewajiban suami dan isteri sendiri melanggar CEDAW. Kedua pihak perkawinan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama jika salah satu pihak melalakan kewajibannya.[23] Gugatan tersebut dapat diajukan sendiri atau dapat diajukan sebagai alasan untuk perceraian.[24]

Selain itu, KHI menetapkan bahwa seorang suami dapat menegakan kewajiban isterinya melalui nusyuz. Dalam keadaan bahwa seorang isteri melalaikan kewajibannya, dia dapat dianggap nusyuz.[25] Selama dia nusyuz, seorang suami tidak wajib memberikan nafkah, kiswan tempat kediaman maupun biaya umah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi isterinya.[26] Ketentuan seorang suami terhadap adanya nusyuz wajib didasarkan bukti yang sah.[27]

Namun demikian, Drs. Sudarsono berpendapat bahwa kedua pihak perkawinan boleh dianggap nusyuz. Kalau seorang suami dianggap nusyuz, isterinya berhak membuat perjanjian yang dimaksud untuk memperbaiki hubungannya dengan suaminya. Kalau seorang isteri dianggap nusyuz, suaminya wajib bertindak sebagai berikut. Pertama, seorang suami menasehat isterinya dengan baik. Kedua, jika isteri tersebut tidak memperhatikan suaminya, mereka harus berpisah tidur. Ketiga, jika isteri tersebut masih tidak meperhatikan suaminya, dia boleh memukul isterinya dengan pukulan yang tidak berat.[28]

Jadi, baik dalam pandangan KHI maupun Drs. Sudarsono, penegakan kewajiban suami dan isteri sendiri tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Menurut KHI, kewajiban kedua pihak perkawinan dapat ditegakkan melalui Pengadilan Agama sedang hanya kewajiban isteri dapat ditegakkan dengan nusyuz. Menurut Drs. Sudarson, kewajiban suami dan kewajiban isteri dapat ditegakkan dengan nusyuz. Namun demikian, akibat nusyuz yang datang dari suami beda dari nusyuz yang datang dari isteri. Bagaimanapun juga, persamaan antara suami dan isteri tidak dijamin.

Ruang lingkup pelanggaran CEDAW tersebut tidak jelas. Hak dan kewajiban suami isteri jarang ditegakkan dalam Pengadilan Agama atau melalui nusyuz.[29] Ada kemungkinan alasan untuk kejarangan tersebut adalah hak dan kewajiban suami isteri tidak sering dilakukan, tidak dianggap penting dan maka tidak perlu ditegakkan. Dalam kemungkinan itu, pelanggaran CEDAW dengan hak dan kewajiban suami isteri hanya berada secara hukum dan tidak berada secara praktek.

Namun demikian, ada kemungkinan lain hak dan kewajiban suami isteri dilakukan sepenuhnya dan karena itu tidak perlu ditegakkan. Dalam kemungkinan itu, pelanggaran CEDAW berada secara hukum dan juga berada secara praktek. Bagaimanapun juga, dalam rangka pelaksanaan CEDAW sepenuhnya, pelanggaran CEDAW wajib diatasi baik kalau berupa pelanggaran secara hukum atau pelanggaran secara praktek.

[1] - Pasal 30 Ayat (1) UU No.1/1974, Pasal 77 Ayat (1) KHI
[2] - Pasal 32 UU No.1/1974, Pasal 78 KHI.
[3] - Pasal 33 UU No.1/1974, Pasal 77 Ayat (2) KHI.
[4] - Pasal 77 Ayat (3) dan (4) KHI.
[5] - Pasal 31 Ayat (2) UU No.1/1974, Pasal 79 Ayat (2) KHI.
[6] - Pasal 31 Ayat (2) UU No.1/1974, Pasal 79 Ayat (3) KHI.
[7] - Pasal 31 Ayat (2) UU No.1/1974, Pasal 79 Ayat (3) KHI.
[8] - Nasution dkk., op. cit. catatan kaki no.259, hal.29; Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.95.
[9] - Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.95.
[10] - ibid.
[11] - ibid.
[12] - Pasal 34 Ayat (1) UU No.1/1974, Pasal 80 Ayat (2) KHI.
[13] - Pasal 80 Ayat (3) KHI.
[14] - Pasal 4 huruf a dan huruf b KHI.
[15] - Pasal 81 Ayat (3) KHI.
[16] - ibid.
[17] - Pasal 80 Ayat (6) KHI.
[18] - Pasal 82 Ayat (1) KHI.
[19] - Pasal 82 Ayat (2) KHI.
[20] - Pasal 83 Ayat (1) KHI.
[21] - Pasal 83 Ayat (2) KHI.
[22] - al-Quran Surat IV Ayat 34 Tuhan sebagaimana disebut dalam Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.203.
[23] - Pasal 34 Ayat (3) UU No.1/1974, Pasal 49 Ayat (1) dan (2) beserta Penjelasan Pasal Demi Pasal UU No.7/1989, Pasal 77 Ayat (5) KHI.
[24] - Pasal 34 Ayat (30 UU No.1/1974, Pasal 49 Ayat (2) yo. Pasal 66 Ayat (5) yo. Pasal 86 Ayat (1) beserta Penjelasan Pasal Demi Pasal UU No.7/1989. Lihat juga Drs. Ahrun Hoerudin, SH; Pengadilan Agama: Bahasan Tentang Pengertian Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agam Setelah Berlakunya UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama (1999), hal. 15-17.
[25] - Pasal 83 Ayat (1) KHI.
[26] - Pasal 80 Ayat (7) yo. Pasal 84 Ayat (2) KHI.
[27] - Pasal 84 Ayat (5) KHI.
[28] - Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.250
[29] - lihat Frekuensi dan Proporsi Perkara yang Diterima Pengadilan Agama Tahun 1994 dalam Cik Hasan Bisri, op. cit. catatan kaki no.238, hal.169.