Hak Membuat Ikatan Perkawinan

Hukum Islam memberikan hak membuat ikatan perkawinan secara belum sesuai dengan CEDAW. Hak membuat ikatan perkawinan bersifat bebas selama syarat persetujuan, batas usia calon mempelai dan larangan perkawinan dipenuhi. Untuk seorang pria, hak tersebut ditambah dengan poligami. Untuk seorang wanita, hak tersebut tidak dikurangi keadaan hamil.

Syarat persetujuan tersebut ditetapkan UU No.1/1974 selaras dengan CEDAW. UU No.1/1974 menetapkan bahwa ikatan perkawinan wajib didasarkan persetujuan calon mempelai pria dan calon mempelai wanita.[1] Maka, seorang wanita berhak memasuki perkawinan hanya dengan persetujuannya sebagaimana disyaratkan Pasal 16 Ayat (1) huruf b CEDAW.

Batas usia calon mempelai sebagaimana ditetapkan UU No.1/1974 melanggar CEDAW. Salah satu calon mempelai yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya atau orang lain bersangkutan. Kalau orang tua atau orang lain tidak sependapat, izin tersebut dapat diberikan Pengadilan Agama.[2] Para orang tersebut atau Pengadilan Agama hanya boleh memberikan izinnya kalau pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.[3]

Bagaimanapun, kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita dapat mengajukan permohonan dispensasi dari ketentuan tersebut kepada Pengadilan Agama.[4] Usia calon mempelai untuk pemberian dispensasi tersebut tidak ditetapkan. Melainkan, hanya baliq disyaratkan, yaitu calon mempelai bersangkutan perlu dianggap cukup dewasa untuk membangun rumah tangga.[5]

Perbedaan batas usia calon mempelai pria dan wanita tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf a CEDAW. Selain itu, dispensasi dari batas usia tersebut bertentangan dengan CEDAW. Ada kemungkinan kuat calon mempelai bersangkutan dipengaruhi orang tuanya sampai perkawinannya berupa pertunangan seorang anak sebagaimana dilarang Pasal 16 Ayat (2) CEDAW.

Syarat persetujuan dan batas usia calon mempelai ditambah dengan berbagai larangan perkawinan yang berdasarkan berbagai hubungan antara calon mempelai, seperti hubungan darah atau susuan. Pada kelihatannya larangan tersebut tidak bertentangan dengan CEDAW.[6]

Poligami diperbolehkan hukum Islam secara tidak sesuai dengan CEDAW. Hukum Islam menetapkan bahwa seorang pria boleh beristeri lebih dari satu orang. Poligami dibatasi sampai 4 (empat) orang isteri. Selain itu, poligami hanya diperbolehkan jika seorang pria tersebut mampu berlaku adil pada para isteri isteri dan anak-anaknya.[7] Menurut ajaran Islam, poligami dimaksud melindungi wanita yang ditinggalkan bekas suaminya maupun anak yatim. Poligami pula dimaksud untuk menjauhi kemungkinan seorang pria buat zina.[8]

Ketentuan hukum Islam terhadap poligami diubah dengan UU No.1/1974 sebagaimana diakui KHI. Pasal 3 Ayat (1) UU No.1/1974 menegaskan: `Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami'. Bagaimanapun, seorang pria boleh melakukan poligami jika dia mengajukan permohonan pada Pengadilan Agama dan mendapat izinnya.[9] Permohonan tersebut wajib mengandung persetujuan isterinya atau isteri-isterinya yang telah ada, kepastian bahwa pemohon bisa menjamin keperluan hidup isteri-isterinya dan anak anak mereka maupun jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak anak mereka.[10]

Pengadilan Agama bersangkutan hanya akan memberikan ijinnya dalam keadaan bahwa isteri yang telah ada: (i) tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, atau (ii) mempunyai cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau (iii) tidak dapat melahirkan keturunan.[11] Untuk memberikan ijinnya, Pengadilan Agama bersangkutan wajib memanggil dan mendengar isteri tersebut.[12] Poligami yang dilakukan di luar prosedur tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.[13]

Jadi, seorang pria hanya dapat melakukan poligami selama kepentingan isterinya yang telah ada maupun yang mendatang dilindungi. Tetapi seorang wanita dilarang bersuami lebih dari satu orang.[14] Perbedaan itu melanggar persamaan hak memasuki perkawinan yang disyaratakan Pasal 16 Ayat (1) huruf a CEDAW.

Hak melakukan ikatan perkawinan tidak dikurangi keadaan hamil secara sesuai dengan CEDAW. Hukum Islam menetapkan bahwa seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilnya. Pernikahan itu boleh dilangsungkan sebelum kelahiran ankanya dan tidak perlu berulang setelah kelahiran tersebut.[15] Jadi, tidak ada diskriminasi terhadap wanita berdasarkan kehamilannya sebagaimana disyaratkan Pasal 16 Ayat (1) huruf a CEDAW.

[1] - Pasal 6 Ayat (1) UU No.1/1974, Pasal 16 Ayat (1) KHI. Lihat juga Pasal 6 s/d Pasal 8 PP No.9/1975.
[2] - Pasal 6 Ayat (2) s/d Ayat (5) UU No.1/1974, Pasal 6 Ayat (2) huruf c PP No.9/1975, Pasal 49 Ayat (1) dan (2) maupun Penjelasan Pasal Demi Pasal UU No.7/1989.
[3] - Pasal 7 Ayat (1) UU No.1/1974.
[4] - Pasal 7 Ayat (2) UU No.1/1974, Pasal 6 Ayat (2) huruf e PP No.9/1975, Pasal 12 yo. Pasal 13 Peraturan Menteri Agama No.3/1975, Pasal 49 Ayat (1) yo. (2) maupun Penjelasan Pasal Demi Pasal UU No.7/1989. Lihat juga Mohd. Iris Ramulyo, SH, MH, Hukum Perkawinan Islam (1999), hal.58, 183-184.
[5] - Bahder Johan Nasutian, SH, M.Hum., Hukum Perdata Islam (1997), hal.23; Dr.s Helmi Karim, MA, "Kedewasaan untuk Menikah" dalam Dr. H. Chuzaimah dan Dr. T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer (1994), hal. 60, 69.
[6] - Pasal 8 butir a, b, c, d, f UU No.1/1974, Pasal 6 Ayat (1) yo. Pasal 7 Ayat (2) PP No.9/1975, Pasal 39 s/d Pasal 41, Pasal 43 yo. Pasal 44, Pasal 68 s/d Pasal 70 butir d KHI.
[7] - Pasal 42 yo. Pasal 55 Ayat (1), (2) dan (3) KHI; Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.234; Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.75.
[8] - Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.233-235; Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.75-76.
[9] - Pasal 3 Ayat (1) yo. Pasal 4 Ayat (1) UU No.1/1974, Pasal 40 PP No.9/1975, Pasal 49 Ayat (1) dan (2) beserta Penjelasan Pasal Demi Pasal UU No.7/1989, Pasal 56 KHI.
[10] - Pasal 5 Ayat (1) UU No.1/1974, Pasal 41 butir b PP No.9/1975, Pasal 58 KHI. Bandingkan dengan Pasal 5 Ayat (2) UU No.1/1974, Pasal 58 Ayat (3) KHI.
[11] - Pasal 4 Ayat (2) UU No.1/1974, Pasal 41 butir a PP No.9/1975, Pasal 57 KHI).
[12] - Pasal 42 Ayat (1) PP No.9/1975.
[13] - Pasal 56 Ayat (3) KHI.
[14] - Pasal 3 UU No.1/1974, Pasal 40 butir a KHI; Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal. 235.
[15] - Pasal 53 KHI.