Pandangan Neo-Ortodoksi Administrasi Negara

Pandangan Neo-Ortodoksi Administrasi Negara
Pandangan modern terhadap administrasi negara atau yang dapat disebut dengan neo-ortodoksi adalah dilandasi oleh kenyataan bahwa berdasarkan pendekatan perilaku, banyak hal yang terjadi dan sulit terkendalikan. Bahwa meskipun pendekatan kemanusiaan ataupun perilaku individu diterapkan dalam birokrasi pemerintahan, banyak hal yang bisa dilakukan melalui struktur hirarki, prosedur kerja maupun nilai-nilai normatif administrasi. Yang diperlukan untuk menghindarkan segala ekses dampak yang terjadi adalah dengan melakukan peninjauan kembali terhadap sistem dan struktur yang selama ini dikembangkan. Dengan perkataan lain diperlukan suatu perubahan yang bersifat restrukturisasi sistem birokrasi.
Tantangan yang dihadapi berdasarkan pemikiran para pakar neo ortodoksi administrasi negara ini (Fredericson, 1984; Nigro dan Nigro, 1980; Shafritz, 1997)  antara lain berkaitan dengan kemampuan birokrasi menghadapi kompleksitas masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan birokrasi pusat untuk mengakomodasi tuntutan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh birokrasi regionel maupun lokal dalam hubungannya dengan klien atau masyarakat yang dilayani.
Dengan demikian, permasalahan yang sebenarnya dihadapi adalah bagaimana melakukan perubahan sistem birokrasi agar memiliki daya tanggap yang lebih baik dan lebih efektif. Lebih daripada itu, dalam rangka tetap mengakomodasikan pendekatan kemanusiaan dalam praktek birokrasi penyelenggaraan pemerintahan, permasalahannya adalah bagaimana merancang suatu sistem birokrasi yang mampu memfasilitasi peran-serta setiap individu birokrat maupun masyarakat untuk tercapainya tujuan bersama secara efektif.
Menurut pandangan noe-otokrasi ini, sistem administrasi negara baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah pada periode tahun 1980-an dan 1990-an, dihadapkan pada berbagai krisis baik yang datang dari luar maupun dari dalam lingkungan sistem itu sendiri. Krisis yang datangnya dari luar antara lain berupa krisis ekonomi yang berkepanjangan, bukan saja di negara-negara dunia ketiga tetapi juga dinegara-negara maju.
Efek globalisasi ekonomi yang melanda dunia internasional antara lain berkaitan dengan resesi ekonomi global dan krisis moneter yang dalam banyak hal telah menghambat laju pertumbuhan ekonomi berbagai negara, bahkan menimbulkan efek kontraksi yang sangat tajam sebagaimana terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998. Kondisi yang demikian dalam skala mikro telah berdampak menurunkan kapasitas keuangan pemerintah baik yang diperoleh dari pajak dalam negeri maupun berbagai retribusi dan sumber-sumber penrimaan lainnya; akibat menurunnya kemampuan penerimaan masyarakat sejalan dengan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah dibanyak negara kemudian terdorong untuk melakukan efisiensi dengan memperketat pengeluaran anggaran di satu sisi, tetapi disisi lain pemerintah dituntut untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan program-program social safety net untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini kemudian mendorong pemerintah, termasuk pemerintah daerah dimanapun untuk melakukan rasionalisasi dan retrukturisasi kelembagaan agar mampu mengatasi krisis yang dihadapi.
Di lain pihak, permasalahan internal yang dihadapi pemerintah sebagaimana telah diuraikan adalah kenyataan bahwa di berbagai negara dirasakan adanya penurunan kualitas, bahkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Hal ini terjadi dalam banyak hal bukan karena rendahnya tingkat kemampuan aparatur, akan tetapi justru terjadi sebagai akibat telah semakin meningkatnya orde kebutuhan serta tuntutan jati diri masyarakat atas layanan pemerintah.
Sementara kapasitas pelayanan umum oleh pemerintah terlalu lamban untuk mampu beradaptasi dengan berbagai ragam kebutuhan tersebut. Apalagi dalam rejim pemerintahan yang sentralistik, bahkan dalam sistem pemerintahan yang desentralistik, sekalipun ternyata kemampuan pacu peningkatan kualitas pelayanan publik oleh pemerintah dirasakan masih rendah. Akibatnya, di banyak negara mulai muncuk berbagai prakarsa masyarakat untuk keluar dari atau berhenti sebagai pengguna jasa pemerintah dan beralih ke jasa-jasa publik yang ditawarkan oleh swasta maupun lembaga-lembaga masyarakat ataupun komunitas sendiri.
Masyarakat misalnya telah mulai beralih dari orientasi menggantungkan perlindungan keamanan kepada polisi pemerintah dengan membentuk satuan-satuan pengamanan swakarsa 9satpam) atau pengawal-pengawal pribadi. Mereka juga keluar dari lingkungan pemukiman masyarakat di perkampungan kota yang kumuh dengan kualitas infrastruktur sosial yang tidak lagi sesuai dengan selera mereka, kemudian pindah bermukim di kompleks-kompleks perumahan eksklusif dengan infrastruktur lingkungan yang jauh lebih baik, dalam lingkungan tertutup yang dijaga ketat oleh Satpam sendiri.
Mereka memilih untuk menambah pengeluaran ekstra agar mendapatkan layanan publik yang lebih baik daripada yang bisa diberikan oleh pemerintah. Mereka memilih membayar sendiri layanan pengamanan, pengangkutan sampah, pertamanan, fasilitas jalan dan penerangan umum, drainase dan sanitasi lingkungan, dan berbagai jasa lainnya dalam satu paket dengan keberadaan mereka dilingkungan perumahan tersebut. Mereka bahkan memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka tidak kesekolah negeri bahkan kalau perlu keluar negeri, termasuk penggunaan layanan kesehatan yang dikelola oleh swasta.
Fenomena  masyarakat yang disebut oleh Shafritz (1997) sebagai fenomena kemunculan feodalisme modern tersebut pada hakekatnya merupakan kecenderungan perkembangan pilihan-pilihan masyarakat (people’s choices) terhadap berbagai jenis layanan publik yang mampu memenuhi tuntutan aspirasi mereka. Jadi yang terjadi disini sebenarnya bukan merupakan akibat dari ketidakmampuan atau rendahnya kualitas aparatur, yang tidak mampu menciptakan kualitas pelayanan yang diharapkan; melainkan adalah sistem penyelenggaraan administrasi publik itu sendiri yang rancangannya tidak memungkinkan aparatur untuk secara tanggap melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan strategisnya.
Mengingat hal tersebut para pemikir neo-ortodoksi administrasi negara menilai perlunya penataan ulang sistem-sistem dan struktur kelembagaan yang berlaku dalam pemerintahan. Diperlukan pemikiran kembali mengenai fungsi-fungsi serta peranan pemerintah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Rethinking Government), bahkan diperlukan invensi-invensi baru dalam sistem dan praktek penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintahan (Reinventing Government) (Frederickson, 1984; Gaebler dan Osborne, 1992; Gray, 1994; Shafritz, 1997; World Bank, 1999/2000).
Bahkan sebagian mengarahkan agar pemerintah sama sekali keluar sama sekali dari “bisnis” penyelenggaraan publik tertentu dan menyerahkannya kepada sektor swasta untuk menyelenggarakannya (Savas, 1987). Disisi lain, para pakar juga mempertimbangkan agar dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan publik, terdapat keseimbangan dan kesetaraan peran antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (Civil Society) berdasarkan paradigma Governance (bukan government) sehingga terdapat sinergi dan harmonisasi dalam pencapaian tujuan bersama meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat (UNDP, 1995 dan 1999, Kooiman, 1993).
Dari berbagai rekomendasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tesis yang mendasarinya adalah perubahan organisasi melalui perubahan struktur-struktur organisasi termasuk sistem-sistem yang melandasi beroperasinya administrasi negara. Hal ini menurut Frederickson (1984 : 121) didasari oleh anggapan bahwa : “Adalah lebih gampang mengubah kerangka organisasi, dan karenanya juga aturan permainan organisasi, ketimbang mengubah orang-orangnya; dan dengan mengubah kerangkadan aturan-aturannya kita bisa meningkatkan potensi untuk mengubah orang-orang itu”. Anggapan dasar yang sama juga dikemukakan oleh Ted Gaebler dan David Osborne (1992) bahwa salah satu dari lima keyakinan dasar yang melandasi analisis mereka adalah : “keyakinan bahwa para pegawai pemerintah (birokrat) bukanlah sumber permasalahan, tetapi sistem-sistem kerja dimana mereka harus bekerja itulah sumber permasalahan yang sebenarnya”.