Penegakan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

Seorang wanita bisa mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui hak menguji di lingkungan TUN yang juga dapat dikukuhkan. Hak menguji Pengadilan TUN (Verwaltungs Gericht) ditetapkan dengan UU No.5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta peraturan pelaksananya.[1]

Urusan dasar hak menguji Pengadilan TUN adalah Keputusan TUN (Beschikking). Pengertian Keputusan TUN diajukan dengan Pasal 1 yuncto Pasal 2 UU No.5/1986. Pasal 1 menetapkan `Putusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi sesorang atau badan hukum perkata'.

Sekalipun, Pasal 2 serta Penjelesan Atas UU No.5/1986 menentukan Keputusan TUN yang dapat diuji menurut Undang Undang itu tidak termasuk yang berikut: 
a. Keputusan TUN yang `merupakan perbuatan hukum perdata', umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual beli dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan;

b. Keputusan TUN yang `merupakan pengaturan yang bersifat umum', yaitu ketentuan badan atau pejabat TUN yang berlaku pada setiap orang;
c. Keputusan TUN yang `masih memerlukan persetujuan', yaitu keputusan yang untuk dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi pemerintah lain;
d. Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menyangkut hukum pidana;
e. Keputusan TUN yang `dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan';
f. Keputusan TUN mengenai tata usaha ABRI;
g. Keputusan TUN Panitia Pemilihan mengenai hasil pemilihan umum.[2]


Ruang lingkup hak menguji Pengadilan TUN ditetapkan dengan Pasal 53 Ayat (1) UU No.5/1986. Pasal 53 Ayat (1) tersebut menyatakan `Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan / batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi.'

Pasal 53 Ayat (2) UU No.5/1986 mengandung alasan alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tersebut. Pasal 53 Ayat (2) huruf a menetapkan alasan alasan tersebut tercantum Keputusan TUN digugat karena `bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku'.

Penjelesan Atas UU No.5/ 1986 menegaskan Pasal 53 Ayat (2) huruf a berupa tiga bentuk pelanggaran peraturan perundang-undangan. Pertama, pelanggaran yang bersifat prosedural / formal, umpamanya jika Keputusan TUN dikeluarkan tanpa pelaksanaan kewajiban membela pihak bersangkutan. Kedua, pelanggaran bersifat materiil / substansial. Ketiga, pelanggaran peraturan dasar Keputusan TUN atau, dengan perkataan lain, Keputusan TUN dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berkuasa.

Secara tersurat, Pasal 53 UU No.5/1986 membedakan hak menguji Keputusan TUN terhadap perundang-undangan secara umum dan hak menguji Keputusan TUN terhadap perundang-undangan yang berfungsi sebagai sumber Keputusan TUN tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa Pengadilan TUN berhak menguji Keputusan TUN terhadap segala peraturan perundang-undangan baik yang berfungsi sebagai sumber Keputusan TUN itu atau tidak.[3]

Namun demikian, beberapa pertimbangan Pengadilan TUN berpendapat lain. Pertimbangan tersebut menetapkan bahwa hak menguji Keputusan TUN hanya dapat dilaksanakan terhadap peraturan perundang-undangan yang `lebih tinggi sebagai sumber hukum untuk mengeluarkan keputusan'.[4]

Dalam keadaan pelanggaran tersebut, Pengadilan TUN berhak memerintah pencabutan Keputusan TUN.[5] Selain itu, Pengadilan TUN dapat memerintah Pejabat atau Badan TUN bersangukutan melaksanakan ganti rugi atau rehabilitasi sebagaiamana diatur dengan Pasal 120 yuncto Pasal 121 UU No.5/1986.

Di bidang perundang-undangan tentang HAM yang mengakui kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan hak wanita, hak menguji Pengadilan TUN dapat dijelaskan atau diperbaiki. Pada masa kini, ada kemungkinan seorang wanita dapat mencari pengujian sesuatu Keputusan TUN terhadap segala peraturan perundangan, tercantum Ketentuan UUD 1945 tentang HAM, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 beserta UU No.39/1999. Jika hak menguji Pengadilan TUN mencapai tingkat itu, seseorang wanita tersebut memang dilindungi dari Keputusan TUN yang melakukan diskriminasi atau melanggar haknya.


Namun demikian, ada kemungkinan lain seorang wanita tersebut hanya boleh mencari pengujian Keputusan TUN terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai sumbernya. Jadi, seorang wanita hanya dilindungi dari diskriminasi dan pelanggaran haknya sepanjang telah diberikan melalui Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri dan secara dapat dikukuhkan.

[1] - UU No.10/1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, KepPres No.52/1990 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara; PP No.7/1991 Tentang Penerapan UU No.5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; PP No.43/1991 Tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaskanaanya Pada Peradilan Tata Usaha Negara dan KepPres No.16/1992 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Bandung, di Semarang dan di Padang.
[2] - lihat juga Pasal 49 UU No.5/1986 yang menyangkut pembatasan wewenang Pengadilan TUN terhadap Keputusan TUN dikeluarkan pada masa darurat dan O C Kaligis, SH, Praktek Pratkek Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia: Buku Pertama (1999), passim.
[3] - Y. Sri Pudyatmoko, SH dan W. Riawan Tjandra, SH, Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah (1996), hal.45 serta 75-77; Dr. Suwarmaal Muchtar, SH, Peradilan Tata Usaha Negara (1999), hal.81.
[4] - Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No.094/G./1994/IJ/PTUN.JKT.Rabu 3 Mei 1985 sebagiamana dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 111/B/1995 PT.TUN.JKT.Selasa 21 Nopember 1995 dan kemudian dibatalkan untuk alasan lain dengan Putusan Mahkamah Agung RI No.25 K./TUN/1996 Tanggal 13 Juni 1996 dihimpun oleh Tim Alumni (ed.), Kasus Pencabutan SIUPP Majalah Tempo: Suatu Yurisprudensi dalam Bidang Hukum Nasional Indonesia (1998), hal.224-225, 246-249.
[5] - Pasal 97 UU No.5/1986.