Penegakan Lembaga Legislatif

Seorang wanita dapat mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui wewenang pengawasan DPR. Wewenang tersebut diberikan dengan TAP MPR No. III/MPR/1978 Tentang Kedudukan Dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan / Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi Negara.

Pasal 7 Ayat (1) TAP MPR tersebut menyatakan DPR `berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara'.[1] Sesuai dengan kewajiban itu, Pasal 7 Ayat (2) menetapkan apabila DPR menganggap Presiden sungguh sungguh melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden.

Selanjutnya, Pasal 7 Ayat (3) menentukan apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum DPR tersebut pada Ayat (2), maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua.

Akhirnya, Pasal 7 Ayat (4) berbunyi apabila dalam waktu satu bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum yang kedua, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungan jawab Presiden. MPR dapat menghentikan masa jabatan Presiden jika beliau sungguh sungguh melanggar Haluan Negara.[2]

Di bidang penegakan perundang-undangan tentang HAM, apabila Presiden melanggar TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM, DPR dapat mengawasi tindakan beliau secara tersebut.[3] Tentu saja dengan wewenangnya DPR tidak boleh memerintah Presiden untuk menghormati HAM. Tetapi pada hakikatnya, Memorandum DPR akan mempengaruhi Presiden. Karena apabila Presiden menolak Memorandum tersebut, DPR dapat mohon Sidang Istimewa MPR. MPR kemudian dapat menghentikan masa jabatan Presiden bersandarkan pelanggaran HAM tersebut. Oleh sebabnya, Presiden akan memperhatikan Memorandum DPR.

Bagaimanapun, wewenang pengawasan DPR memuat masalah untuk seorang wanita yang mencari penegakan TAP MPR No.XVII/MPR/1998. Memorandum yang disampaikan kepada Presiden maupun Permintaan Sidang Istimewa MPR dikeluarkan dengan suara DPR yang terbanyak. Dapat disimpulkan bahwa suara DPR tersebut hanya ditimbulkan pelanggaran HAM yang bersifat berat, luas dan secara terus-menerus. Jadi, wewenang pengawasan DPR tidak baik untuk pelanggaran menyangkut seorang wanita saja.

[1] - Bandingkan dengan Pasal 33 Ayat (2) huruf c sub 1) yo. Pasal 33 Ayat (3) huruf a yo. Pasal 35 UU No.4/1999.
[2] - Pasal 4 huruf c TAP MPR No.III/MPR/1978. Lihat contoh dengan landasan yuridis lain TAP MPRS No.XXXIII/MPRS/1966 Tentang Pencabutan Mandataris MPRS dari Presiden Sukarno yo. TAP MPR No.XLIV/MPRS/1968 Tentang Pengankatan Pejabat Presiden Republik Indonesia.
[3] - terhadap kedudukannya sebagai GBHN lihat Landasan Yuridis huruf a TAP MPR No.XVII/MPR/1998.