Putusnya Perkawinan

Putusnya Perkawinan
Ketentuan hukum Islam tentang putusnya perkawinan melalui cerai hidup melanggar CEDAW. Di bidang tersebut, hukum Islam berdasarkan ajaran Islam sebagaimana diubah UU No.1/1974, PP No.9/1975, UU No.7/1989 beserta KHI. 

Perceraian dalam ajaran Islam tidak sesuai dengan CEDAW. Menurut ajaran Islam, perkawinan adalah ikatan yang bersifat selama-lamanya. Maka, perceraian dilarang dan menjadi sesuatu yang paling dimarahi Tuhan. Namun demikian, Islam masih menyadari kenyataan bahwa perkawinan dapat gagal dan menjadi tidak bisa diteruskan. Oleh sebabnya, ajaran Islam memberi kesempatan untuk perceraian dalam keadaan dan melalui acara tertentu.[1]

Seorang suami boleh menceraikan isterinya melalui suatu ucapan atau sumpah didasarkan alasan yang bersifat umum (talak[2] dan ila'[3]). Seorang suami tersebut pula boleh menceraikan isterinya dengan sumpah atau anggapan didasarkan alasan yang berupa suatu tindak isterinya (zhihar,[4] fahisah,[5] nusyuz, li'an). 

Sebaliknya, seorang isteri hanya dapat menceraikan suaminya dengan persetujuannya (khuluk)[6] atau berdasarkan perjanjian perkawinan (talik talak). Selain itu, ajaran Islam memperbolehkan perceraian didasarkan persetujuan kedua pihak perkawinan baik untuk alasan umum (mubaaro'ah)[7] maupun suatu tindak salah satu pihak perkawinan (murtad[8] dan fasakh[9]). 

Jalan perceraian ajaran Islam melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama pada putusnya perkawinan. Ajaran Islam tersebut membedakan kedudukan suami dan isteri dan tidak menjamin persamaannya. 

Jalan perceraian ajaran Islam tersebut diubah peraturan perundangan secara sesuai dengan CEDAW. UU No.1/1974 menetapkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan pihak bersangkutan.[10] 

PP No.9/1975 menetapkan perceraian baik diminta suami atau isteri hanya dapat dilakukan untuk alasan sebagai berikut: Pertama, salah satu pihak perkawinan berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.[11] 


Kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut turut tanpa ijian pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.[12]

Ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara atau pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berat setelah perkawinan berlangsung.[13] 

Keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.[14] 

Kelima, salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.[15]

Keenam, antara suami isteri terus menerus terjadi perseilishan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dlaam rumah tangga.[16]

Alasan PP No.9/1975 ditambah alasan KHI. KHI menetapkan perceraian boleh didadasarkan alasan bahwa seorang suami melanggar taklik talak atau peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.[17]

Alasan PP No.9/1975 beserta alasan KHI diajukan dalam rangka tata cara perceraian. Tata cara perceraian tersebut ditetapkan PP No.9/1975 beserta UU No.7/1989. Tata cara perceraian suami berupa permohonan talak sedangkan untuk isteri berupa gugatan perceraian. Dahulu, prosedur talak suami diatur PP No.9/1975 dan merupakan permohonan yang diajukan seorang suami dan dikabulkan dengan Surat Keterengan yang dibuat Pengadilan Agama.[18] Prosedur talak tersebut jauh lebih mudah dari prosedur gugatan perceraian isteri.[19] Oleh sebabnya, prosedur talak suami diubah UU No.7/1989. 

UU No.7/1989 menetapkan bahwa prosedur talak suami merupakan permohonan yang diajukan seorang suami pada Pengadilan Agama bersangkutan.[20] Permohonan tersebut wajib didasarkan alasan PP No.9/1975 atau alasan KHI tersebut.[21] Permohonan tersebut kemudian diperiksa Pengadilan Agama dalam rangka usaha perdamaian kedua pihak bersangkutan.[22] 

Setelah disimpulkan bahwa ada alasan untuk perceraian dan kedua pihak tidak mungkin didamaikan, Pengadilan Agama dapat menetapkan permohonan dikabulkan.[23] Isteri bersangkutan dapat memintakan banding maupun kasasi terhadap penetapan Pengadilan Agama. Setelah itu, cerai talak diselesaikan dengan ucapan ikrar dan pencatatannya.[24] 

Gugatan perceraian diajukan isteri pada Pengadilan Agama bersangkutan didasarkan alasan PP No.9/1975 beserta alasan KHI. Dahulu, PP No.9/1975 menetapkan bahwa Pengadilan Agama tersebut adalah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.[25] PP No.9/1975 diubah UU No.7/1989. Pengadilan Agama bersangkutan menjadi yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.[26] Perubahan tersebut dimaksud untuk melindungi pihak wanita.[27] 

Gugatan perceraian diperiksa Pengadilan Agama.[28] Pengadilan Agama berkuasa panggil kedua pihak perkawinan, wakilnya maupun orang lain bersangkutan.[29] Selanjutnya, Pengadilan Agama berkuasa pada permohonan pihak berperkara untuk menetapkan tempat kediaman suami isteri, nafkah ditanggung suami maupun harta kekayaan suami isteri.[30]

Dalam pemeriksaan tersebut, Pengadilan Agama berusaha mendamaikan kedua pihak perkawinan.[31] Apabila terjadi perdamaian, `maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan alasan yang aa sebelum perdamaian dan telah diketahu olen penggugat pada waktu dicapainya perdamaian'.[32] Apabila tidak terjadi perdamaian, perkara perceraian diputuskan.[33] 

Suami bersangkutan dapat meminta banding atau kasasi pada putusan tersebut.[34] Putusan tersebut kemudian diumumkan dan dalam keadaan gugatan perceraian dikabulkan, putusnya perkawinan dicatat.[35] Alasan maupun tata cara perceraian tersebut telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Kedudukan suami isteri tidak dibedakan dan persamaannya dijamin.

Bagaimanapun, peraturan perundangan tersebut masih memperbolehkan jalan perceraian lain yang melanggar CEDAW. Suami masih boleh mencerakan isterinya melalui li'an sebagaimana telah dijelaskan.[36] Sebaliknya, isteri tidak boleh menceraikan suaminya melalui li'an. Dia hanya boleh mencari putusnya perkawinan melalui gugatan perceraian biasa. Selain itu, isteri boleh menceraikan suaminya melalui khuluk[37] dan kedua pihak perkawinan boleh melakukan perceraian melalui fasakh.[38] Li'an bertentangan dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.

Jalan perceraian peraturan perundangan tersebut mengandung akibat yang melanggar CEDAW. Pasal 41 UU No.1/1974 menetapkan akibat putusnya perkawinan baik melalui talak atau gugatan perceraian. Akibat tersebut berupa kewajiban kedua bekas pihak perkawinan terhadap anaknya,[39] kewajiban bekas suami terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan anak itu maupun kewajiban bekas isteri dalam keadaan suaminya melalalikan kewajiban tersebut[40] dan kewajiban bekas suami terhadap biaya penghidupan bekas isterinya.[41] Secara umum, ketentuan UU No.1/1974 tidak bertentangan dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. 

Ketentuan UU No.1/1974 ditambah KHI. KHI menetapkan pemeliharaan anak pada putusnya perkawinan sebagaimana tersebut.[42] Selanjutnya, KHI menetapkan bekas isteri wajib mengikuti masa iddah. Masa iddah adalah waktu tunggu yang berlaku setelah baru putusnya perkawinan. Bekas isteri selama dalam masa iddah tidak boleh menerima pinangan atau menikah dengan pria lain.[43] Ruang lingkup masa iddah tergantung pada jalan putusnya perkawinan.[44] 

Akhirnya, KHI menetapkan akibat khusus putusnya perkawinan melalui permohonan talak suami. Akibat tersebut merupakan kewajiban dan hak bekas suami. Bekas suami wajib memberikan mut'ah atau setengah mahar yang telah ditentukan pada bekas isterinya.[45] Bekas suami pula wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah pada bekas isterinya. Kewajiban tersebut gugur apabila talak telah terjadi tiga kali (talak ba'in kubraah), didasarkan kehendak bekas isterinya (talak ba'in shughraa) atau bekas isterinya telah dianggap nusyuz.[46] Bagaimanapun juga, bekas suami wajib memberi biaya hadhanah untuk anak-anakynya yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.[47]

Bekas suami tersebut berhak melakukan rujuk selama isterinya dalam masa iddahnya.[48] Rujuk dilakukan bekas suami tersebut di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Pada masa hadapan itu, bekas isteri boleh mengucapkan keberatannya tentang rujuk. Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan isteri boleh dinyastakan tidak sah oleh Pengadilan Agama.[49] 


Rujuk tidak boleh dilakukan terhadap talak bain shughraa tetapi bekas isteri bersangkutan boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya.[50] Rujuk tidak boleh dilakukan terhadap talak bain kubraah dan bekas isteri bersangkutan tidak boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya kecuali jika telah menikah dan telah menceraiakan seorang pria lain.[51] 

Ketentuan KHI tentang akibat putusnya perkawinan melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Kedudukan bekas suami dan bekas isteri dibedakan. Masa iddah wajib diikuti bekas isteri bukan bekas suaminya. Rujuk boleh dilakukan bekas suami terhadap bekas isterinya tetapi tidak boleh dilakukan sebaliknya. 


[1] - Djamali, op. cit. catatan kaki no.195, hal.98; Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.103, Mohd. Idris Ramulyo, op. cit. catatan kaki no.272, hal.98.
[2] - Djamali, op. cit. catatan kaki no.195, hal.99-103.
[3] - Mohd. Idris Ramulyo, op. cit. catatan kaki no.272, hal.141-143; Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.116-118.
[4] - Mohd. Idris Ramulyo, op. cit. catatan kaki no.272, hal.143-144; Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.118-119.
[5] - Mohd. Idris Ramulyo, op. cit. catatan kaki no.272, hal.140-141; Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.260.
[6] - Mohd Idris Ramulyo, op. cit. catatan kaki no.272, hal.138-140; Djamali, op. cit. catatan kaki no.195, hal.105; Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.244-245; Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.110-111.
[7] - Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.247-248, Mohd. Idris. Ramulyo, op. cit. catatan kaki no.272, hal.139.
[8] - Mohd. Idris Ramulyo, op. cit. catatan kaki no.272, hal.147.
[9] - Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.113.
[10] - Pasal 39 Ayat (1) UU No.1/1974,. Lihat juga Pasal 31 s/d Pasal 33 PP No.9/1975, Pasal 49 Ayat (1) dan (2), Pasal 65, Pasal 80 Ayat (1), Pasal 82 dan Pasal 83 UU No.7/1989; Pasal 115 yo. Pasal 137 Ayat (2) yo. Pasal 143 s/d Pasal 145 KHI.
[11] - Pasal 19 butir a PP No.9/1975, Pasal 116 butir a KHI. Lihat juga Pasal 87 yo. Pasal 88 UU No.7/1989.
[12] - Pasal 19 butir b PP No.9/1975, Pasal 116 butir b KHI.
[13] - Pasal 19 butir c yo. Pasal 23 PP No.9/1975, Pasal 116 butir c yo. Pasal 135 KHI. Lihat juga Pasal 74 UU No.7/1989.
[14] - Pasal 19 butir d PP No.9/1975, Pasal 116 butir d KHI.
[15] - Pasal 19 butir e PP No.9/1075, Pasal 116 butir e KHI. Lihat juga Pasal 75 UU No.7/1989.
[16] - Pasal 19 butir f PP No.9/1975; Pasal 116 butir f KHI. Dalam UU No.1/1974, alasan keenam dikenal dengan istilah syiqaq: lihat Pasal 76 Ayat (1) UU No.7/1989 beserta Penjelasan Pasal Demi Pasal UU No.7/1989.
[17] - Pasal 116 butir g dan h KHI.
[18] - Pasal 14 s/d Pasal 17 PP No.9/1975.
[19] - Arifin, op. cit. catatan kaki no.194, hal.125.
[20] - Pasal 66 yo. Pasal 67 UU No.7/1989.
[21] - Pasal 67 UU No.7/1989, Pasal 14 yo. Pasal 19 PP No.9/1975, Pasal 114 yo. Pasal 116 yo. Pasal 121 s/d Pasal 122 KHI.
[22] - Pasal 68 yo. Pasal 69 UU No.9/1989.
[23] - Pasal 70 Ayat(1) UU No.7/1989.
[24] - Pasal 10 Ayat (3) yo. Pasal 19 UU No.14 Th.1970, Pasal 3 Ayat (2), Pasal 63 s/d Pasal 64 yo. Pasal 70 Ayat (2) UU No.9/1989. Bandingkan dengan Pasal 129 s/d Pasal 137 KHI.
[25] - Pasal 20 Ayat (1) PP No.9/1975.
[26] - Pasal 73 Ayat (1) UU No.7/1989.
[27] - Penjelasan Umum beserta Penjelasan Pasal Demi Pasal UU No.7/1989. Lihat juga Cik Hasran Bisri, op. cit. catatan kaki no.338, hal.137.
[28] - Pasal 29 yo. Pasal 30 PP No.9/1975, Pasal 80 Ayat (1) UU No.7/1989, Pasal 141 yo. Pasal 142 KHI.
[29] - Pasal 25 s/d Pasal 28 PP No.9/1975, Pasal 137 s/d Pasal 140 KHI.
[30] - Pasal 24 PP No.9/1975, Pasal 78 UU No.7/1989, Pasal 136 KHI.
[31] - Pasal 31 PP No.9/1975, Pasal 82 UU No.7/1989, Pasal 143 KHI. Lhat juga Pasal 33 PP No.9/1975, Pasal 80 Ayat (2) UU No.7/1989, Pasal 145 KHI.
[32] - Pasal 32 PP No.9/1975, Pasal 83 UU No.7.1989, Pasal 144 KHI.
[33] - Pasal 34 PP No.9/1975, Pasal 81 UU No.7/1989, Pasal 146 KHI.
[34] - Pasal 10 Ayat (3) yo. Pasal 19 UU No.14/1970. Lihat juga Arifin, op. cit. catatan kaki no.194, hal.125.
[35] - Pasal 35 PP No.9/1975, Pasal 84 yo. Pasal 85 UU No.7/1989, Pasal 8 s/d Pasal 10 yo. Pasal 147 KHI.
[36] - Pasal 49 UU No.1/1974, Pasal 87 yo. Pasal 88 UU No.7/1989 beserta Pasal 101 yo. Pasal 125 s/d Pasal 128 KHI. Lihat juga Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.119-120.
[37] - Pasal 148 KHI.
[38] - Pasal 155 KHI.
[39] - Pasal 41 huruf a UU No.1/1974.
[40] - Pasal 41 huruf b UU No.1/1974.
[41] - Pasal 41 huruf c UU No.1/1974.
[42] - Pasal 105 KHI. Lihat juga Pasal 156 KHI.
[43] - Pasal 151 KHI.
[44] - Pasal 153 yo. Pasal 155 KHI.
[45] - Pasal 35 yo. Pasal 149 butir a dan butir c yo. Pasal 158 s/d Pasal 160 KHI.
[46] - Pasal 162 KHI.
[47] - Pasal 149 huruf d KHI.
[48] - Pasal 118 yo. Pasal 150 KHI.
[49] - Pasal 163 s/d Pasal 169 KHI.
[50] - Pasal 161 yo. Pasal 119 KHI.
[51] - Pasal 120 KHI.