Tata Cara Kelangsungan Perkawinan

Hukum Islam mengatur kelangsungan perkawinan melalui perbedaan antara pria dan wanita yang pada hakikatnya melanggar CEDAW. Kelangsungan perkawinan merupakan peminangan (Khitbah), mahar (Maskawin), akad nikah, perjanjian perkawinan dan pencatatannya.[1]

Tata cara peminangan dapat dianggap bertentangan dengan CEDAW. Peminangan sebagaimana ditetapkan KHI adalah `Kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita'.[2] Secara tersurat, pengertian KHI tersebut berarti peminangan boleh dilakukan oleh kedua jenis kelamin.

Namun demikian, secara tersirat dan secara praktek peminangan hanya dilakukan seorang pria terhadap seorang wanita.[3] Wanita yang boleh dipinangkan tercantum wanita yang masih perawan atau seorang janda yang telah habis masa iddahnya.[4] Tetapi peminangan tidak boleh dilakukan terhadap seorang wanita yang masih dalam masa iddahnya atau yang sedang dipinang pria lain.[5]

Kebebasan kedua pihak untuk memutuskan hubungan peminangan dilindungi.[6] Kebebasan tersebut wajib dilakukan dengan `tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat'.[7] Bagaimanapun, dalam rangka peminangan yang dilakukan pihak pria, KHI menetapkan bahwa seorang pria itu dapat memutuskan untuk putus hubungan pinangan dengan pernyataan atau secara diam melalui menjauhi dan meninggalkan wanitanya. Jadi, meskipun kepentingan wanita dilindungi, peminangan berupa kegiatan dan keputusan pria bersangkutan.

Pada kelihatannya, hukum Islam terhadap peminangan tidak melanggar ketentuan CEDAW di bidang perkawinan. Ruang linkup Pasal 16 CEDAW adalah pelaksanaan sampai putusnya perkawinan. Peminangan terjadi sebelum pelaksanaan perkawinan. Tetapi pada hakikatnya, peminangan bertentangan dengan Pasal 5 butir a CEDAW. Pasal 5 butir a CEDAW menetapkan kebiasaan yang memberikan kedudukan kepada wanita yang lebih rendah dari kedudukan pria perlu dihapuskan. Peminangan dalam hukum Islam berupa kebiasaan yang mengurangi kedudukan wanita sepanjang haknya untuk meminang sendiri tidak diperbolehkan.

Tentu saja pelanggaran CEDAW tersebut hanya bersifat prosedural dan tidak bersifat berat. Namun di muka hukum internasional CEDAW wajib dilaksanakan sepenuhnya. Jadi, pelanggaran CEDAW wajib diatasi baik jika berat atau tidak.

Kebiasaan mahar tidak sesuai dengan CEDAW. Mahar adalah suatu pemberian dari calon mempelai pria pada calon mempelai wanita sebagai tanda kesetiaannya.[8] Mahar berupa kewajiban calon mempelai pria bersangkutan.[9] Bagaimanapun, mahar tidak berupa rukun dalam perkawinan. Maka, kelalaian terhadap mahar tidak menyebabkan batalnya perkawinan dan tidak mengurangi sahnya.[10]

Mahar diberikan kepada calon mempelai wanita secara langsung dan menjadi hak miliknya sendiri.[11] Mahar boleh berbentuk barang, uang atau jasa; meskipun KHI menetapkan bahwa mahar perlu diserahkan melalui tunai secara diperbolehkan calon mempelai wanita.[12] Besarnya tidak dibatasi. Namun demikian, mahar harus didasarkan `asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam'.[13] Selanjutnya, hukum Islam mengandung asas ma'ruf yang berarti bahwa mahar wajib diberikan sesuai dengan kemampuan dan kedudukan calon mempelai pria bersangkutan.[14]

Tentu saja mahar tidak bersifat diskriminatif sebagaimana dilarang Pasal 2 butir f CEDAW. Yaitu, mahar tidak dimaksud untuk mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang apapun berdasarkan persamaan antara pria dan wanita.[15] Melainkan, mahar berupa kebaikan calon mempelai wanita. Selanjutnya, sebagaimana peminangan mahar dilakukan di luar ruang lingkup Pasal 16 CEDAW.

Namun demikian, mahar tidak sesuai dengan Pasal 5 butir a CEDAW. Di belakang mahar terdapat dugaan bahwa peranan pria adalah pemberi sedang peranan wanita hanya penerima. Jadi, mahar dapat dianggap pelanggaran CEDAW meskipun berupa kebaikan seorang wanita bersangkutan.

Akad Nikah tidak melanggar CEDAW. Akad Nikah berupa pernyataan (shighat).[16] Pernyataan tersebut dapat dibagi antara pernyataan calon isteri (ijab) dan pernyataan calon suami (kabul). Ijab diucapkan wali nikah. Wali nikah ialah wakil calon isteri dalam akad nikah. Biasanya wali nikah terdiri atas saudara laki laki calon isteri.[17] Wali nikah dianggap rukun perkawinan. Jadi, perkawinan yang dilakukan tanpa wali nikah tidak sah.[18] Kabul diucapkan calon suami secara pribadi.[19] Ijab dan kabul wajib diucapkan di hadapan dua orang saksi. Orang saksi beragama Islam dan dianggap rukun perkawinan sebagaimana wali nikah.[20]

Telah jelas kedudukan pria dan wanita dalam akad nikah tidak sama. Seorang pria mengucapkan pernyataannya sendiri sedang seorang wanita harus diwakili. Namun, akad nikah hanya bersifat prosedural atau hanya berfungsi sebagai tanda. Akad nikah tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan calon isteri.[21] Akad nikah dapat dibandingkan dengan perayaan pernikahan orang beragama Kristen yang mana calon isteri diantar bapaknya ke depan gereja agar diterima uaminya. Maka, akad nikah tidak bersifat diskriminatif sebagaimana dilarang Pasal 2 butir f CEDAW dan tidak dimaksud untuk mengurangi kedudukan wanita sebagaimana dilarang Pasal 5 butir a CEDAW.

Perjanjian perkawinan tidak melanggar CEDAW. Perjanjian perkawinan dibuat pada masa akad nikah.[22] Perjanjian perkawinan boleh menyangkut taklik talak.[23] Taklik talak berupa janji seorang suami untuk menceraikan isterinya dalam keadaan tertentu seperti suami tersebut meninggalkan isterinya atau tidak melakukan kewajibannya.[24] Seorang isteri berhak mengajukan gugatan perceraian berdasarkan pelanggaran taklik talak.[25]

Selain itu, perjanjian perkawinan boleh menyangkut harta kekayaan dalam perkawinan.[26] Perjanjian perkawinan dimaksud untuk melindungi kepentingan pihak wanita atau kedua suami dan isteri. Jadi, perjanjian perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 2 butir f, Pasal 5 butir a atau Pasal 16 CEDAW.

[1] - bagian terakhir tata cara kelangsungan perkawinan tersebut adalah pencatatan perkawinan: lihat UU No.32/1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk; Pasal 2 Ayat (2) UU No.1/1974, Pasal 2 s/d Pasal 13 PP No.9/1975, Pasal 4 s/d Pasal 10 KHI.
[2] - Pasal 1 butir a KHI.
[3] - Pasal 12 KHI, Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.23.
[4] - Pasal 12 Ayat (1) KHI.
[5] - Pasal 12 Ayat (2) dan (3) KHI.
[6] - Pasal 13 Ayat (1) KHI.
[7] - Pasal 13 Ayat (2) KHI.
[8] - Pasal 1 huruf d KHI, Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.222.
[9] - Pasal 30 KHI. Untuk aturan mengenai kehilangan, kekurangan dan sengketa terhadap mahar lihat Pasal 36 s/d Pasal 38 KHI.
[10] - Pasal 34 KHI, Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.226. Bandingkan dengan Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.56-58.
[11] - Pasal 32 KHI, Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.225.
[12] - Pasal 1 huruf d KHI.
[13] - Pasal 31 KHI.
[14] - Sudarsono, op. cit. catatan kaki no.203, hal.226.
[15] - Pasal 1 CEDAW.
[16] - Pasal 1 butir c yo. Pasal 14 KHI, Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.53; Djamali, op. cit. catatan kaki no.195, hal.92;
[17] - Pasal 20 s/d Pasal 23 KHI.
[18] - Pasal 14 yo. Pasal 71 huruf e yo. Pasal 73 butir d KHI; Djamali, op. cit. catatan kaki no.195, hal.87-92; Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.42-43. Lihat juga pengkajian putusan putusan Pengadilan Agama dalam Mohd. Idris. Ramulyo, SH, MH, Hukum Perkawinan Islam (1999), hal.258-276.
[19] - Pasal 29 KHI. Lihat juga Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.54-56.
[20] - Pasal 24 s/d Pasal 26 KHI.
[21] - op. cit. catatan kaki no.269.
[22] - Pasal 29 UU No.1/1974, Pasal 12 huruf f PP No.9/1975, Pasal 45 KHI.
[23] - Pasal 46 KHI.
[24] - Pasal 1 butir e KHI. Soemiyati, op. cit. catatan kaki no.268, hal.115.
[25] - Pasal 51 yo. Pasal 116 butir g KHI.
[26] - Pasal 47 yo. Pasal 49 yo. Pasal 50 KHI.