UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama

UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama mengatur lingkungan tersebut secara lengkap. UU No.7/1989 menetapkan kekuasaan kehakiman dalam lingkungannya berupa Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding.[1] Pasal 4 UU No.7/1989 mengatur tempat kedudukan Pengadilan tersebut.[2]

Bab II UU No.7/1989 menyangkut Susunan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pasal 9 sampai dengan Pasal 48 menetapkan syarat dan tata cara pengangkatan, pelaksanaan maupun pemberhentian tugas para pejabat Pengadilan di lingkungan peradilan Agama, yaitu Hakim, Panitera, Juru Sita, dan Sekretaris. Kemandirian para hakim tersebut dilindungi.[3]

Bab III UU No.7/1989 menetapkan ruang lingkup kekuasaan Pengadilan Agama. Pasal 49 Ayat (1) berbunyi wewenang Pengadilan Agama adalah memecahkan perkara perkara antara orang Islam di bidang a. perkawinan,[4] b. kewarisan,[5] wasiat dan hibah maupun c. wakaf dan shadaqh yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.[6] Sebagaimana demikian, UU No.7/1989 mencabut semua peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda beserta PP No.45/1957. UU No.7/1989 pula mencabut Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974.[7] Dengan ketentuan ketentuan tersebut, wewenang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi luas dan sama.

Bab IV UU No.7/1989 menentukan Hukum Acara Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pasal 54 menyatakan Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang telah berlaku pada Pengadilan Umum kecuali ditetapkan lain dengan UU No.7/1989.[8]

Pasal 58 Ayat (1) mensyaratkan Pengadilan tersebut mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan-bedakan orang. Pasal 61 yo. Pasal 63 menetapkan hak meminta banding dan kasasi kepada putusan Pengadilan Agama. Pasal 62 menetapkan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilam Tinggi Agama `harus memuat alasan alasan [dan] dasar-dasarnya dan juga harus memuat pasal pasal tertentu dari peraturan peraturan yang bersangkutan atau sumber tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili'.[9]

[1] - Pasal 3 Ayat (1) yo. Pasal 6 s/d Pasal 8 UU No.7/1989. Lihat juga UU No.20/1992 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama.
[2] - lihat juga Daftar Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama Di Seluruh Indonesia Tahun 1995 dalam Lampiran I, Cik Hasan Bisri, op. cit. n.238, hal.281.
[3] - Pasal 15, Pasal 17 s/d Pasal 19 dan Pasal 22 UU No.7/1989.
[4] - lihat juga Pasal 49 Ayat (2) maupun Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal Demi Pasal UU No.7/1989.
[5] - lihat juga Pasal 49 Ayat (3) maupun Penjelasan Umum UU No.7/1989.
[6] - terhadap wasiat dan hibah maupun wakaf dan shadaqh lihat B J Nasution dan S Warjiati, Hukum Perdata Islam: Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqah (1997), Bab V dan Bab VI.
[7] - Pasal 107 Ayat (1) UU No.7/1989.
[8] - lihat hukum acara untuk sengketa perkawinan sebagaimana ditetapakan dengan Pasal 65 s/d Pasal 91 UU No.7/1989.
[9] - lihat Andi Tahar Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya (1996), Bab VI.