Hambatan-Hambatan Realisasi Kredit Pembiayaan Mikro

Hambatan-Hambatan Realisasi Kredit Pembiayaan Mikro 

Permodalan untuk pembiayaan usaha pertanian, secara umum berasal dari 2 sumber, yaitu dari modal sendiri dan dari pinjaman atau kredit dari pihak lain. Dari pinjaman dapat dibagi dalam 3 jenis kredit, yakni (i) kredit program pemerintah, (ii) kredit dari lembaga formal, seperti perbankan/BPR, dan (iii) kredit dari lembaga informal, seperti pedagang, pelepas uang, kelompok dan sebagainya. Kasus di lokasi penelitian di pedesaan NTB dan Jawa Tengah, mayoritas petani lebih akses terhadap lembaga informal. Sangat sedikit petani yang memanfaatkan lembaga pembiayaan formal dalam mendukung permodalan usahataninya. Tapi di Sulawesi Selatan, jumlah petani yang telah mengakses sumber-sumber pembiayaan mikro formal terdapat dalam porsi yang lebih besar, terutama pada BRI Unit Desa. Selain itu, juga dijumpai beberapa petani yang menggunakan jasa pegadaian sebagai lembaga formal penyedia dana untuk modal usahataninya. 

Dana Kelompok Tani yang selama ini banyak membantu petani dalam pembiayaan usahatani adalah dari bantuan pemerintah berupa program BPLM yang merupakan bagian dari Proyek Peningkatan Ketahanan Pangan (P2KP). Khusus di di Sulawesi Selatan program serupa sebagian berasal dari Dana Tanggap Darurat. Pengembalian pinjaman ke kelompok dilakukan setelah panen dan jasa bunga pinjaman bervariasai tapi dalam kisaran antara 1 sampai 1,5 persen. Secara umum pengembalian kredit di tingkat petani relatif tertib dan lancar. 

Berbagai hambatan dalam mengakses kredit pada lembaga-lembaga yang ada dirinci menurut jenis masing-masing kredit yaitu kredit program, kredit formal dan kredit informal, seperti berikut ini. 

(i). Kredit Program 

Kendala utama untuk mendapatkan kredit program pemerintah (sistim bergulir) adalah terbatasnya dana karena sangat tergantung dari alokasi anggaran pemerintah. Lokasi yang dianggap layak untuk mendapat dana program sudah ditentukan berdasarkan pertimbangan dengan prioritas dan target tertentu. Walaupun direncanakan dengan sistem bergulir pada kelompok berikutnya, tapi dalam pelaksanaannya dana yang digulirkan, beberapa kasus, menjadi tidak utuh jumlahnya seperti pada awal program. Hal ini terjadi akibat tidak ada ketegasan sejak awal, pengawasan dan sanksi yang tidak jelas. Akibatnya dana yang diterima kelompok berikutnya tidak memadai lagi untuk suatu tujuan yang direncanakan. Sementara kredit program yang bersifat komersial (seperti KKP), dengan syarat-syarat yang sulit diakses petani. Kelompok Tani nasabah KKP harus menyediakan agunan dan kelompok yang bersangkutan tidak memiliki citra buruk dan harus lunas KUT. 

(ii). Kredit Formal 

Lembaga kredit formal (perbankan maupun BPR) memiliki potensi yang besar karena lembaga ini secara legal formal memiliki wewenang untuk menghimpun dana simpanan masyarakat. Akan tetapi masih sedikit masyarakat yang mengakses lembaga ini. Hambatan realisasi kredit formal dapat berasal dari kedua pihak, perbankan sebagai penyedia dana dan petani sebagai pengguna. Pihak perbankan masih menganggap sektor prtanian sangat beresiko dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Seleksi nasabah yang ketat diberlakukan dan dengan persyaratan harus memiliki agunan dirasakan memberatkan. Apalagi jika agunan dalam bentuk sertifikat tanah yang dianggap sebagai hal yang sulit dipenuhi petani. Sementara dari sisi petani, selain persyaratan ketat juga prosedur administrasi dinilai rumit dan memerlukan waktu lebih lama. Akibatnya, saat petani membutuhkan dana yang bersifat segera (misalnya untuk membeli obat-obatan), dana tersebut belum tersedia. Selain itu, sebagian besar petani beranggapan bahwa mekanisme pembayaran harus dilakukan bulanan. Padahal di lembaga perbankan formal disediakan skim musiman (terutama BRI) seperti per 3 bulan, 6 bulan atau 1 tahun. Informasi yang tidak lengkap tersebut kiranya masih diperlukan sosialisasi yang lebih intensif di masa mendatang. 

(iii). Kredit Informal 

Diantara jenis lembaga pembiayaan yang banyak membantu petani adalah lembaga kredit informal. Kredit pada lembaga ini umumnya mudah diakses karena persyaratan dan prosedur administrasi sederhana. Kemudahan akses tersebut didasari pada prinsip kepercayaan karena sudah saling mengenal antara debetur dan kreditur, seperti saudara, tetangga, mitra kerja dan hubungan kekerabatan yang lain. Kasus peminjam baru yang belum begitu dikenal, prinsip kehati-hatian tetap jadi pertimbangan para kreditur dengan cara memerlukan referensi dari orang-orang yang dikenalnya, disamping jumlah pinjaman dibatasi dan dikenakan jasa pinjaman sedikit lebih tinggi. Walaupun prosedur pinjaman pada lembaga informal tersebut sederhana dan mudah, ketersediaan dana relatif terbatas dan tingkat bunga lebih tinggi dari pada lembaga pembiayaan formal. Seorang peminjam yang lebih memilih lembaga informal dibandingkan dengan lembaga formal menyampaikan pendapatannya. Dengan prosedur yang rigid dan administrasi yang rumit serta waktu yang lama, biaya yang diperlukan untuk pencairan dana pinjaman pada lembaga formal menjadi lebih tinggi dibandingkan harus membayar kelebihan tingkat bunga pada lembaga informal.

Comments