Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi yang Memihak Rakyat


“If there is one lesson in the past half century of economic development, it is that natural resources do not power economies, human resources do” ([1]) (jika ada pelajaran selama setengah abad yang lalu tentang perkembangan ekonomi bahwa sumber daya alam tidak menggerakkan ekonomi; sumber daya manusialah yang melakukan itu)

Di antara puluhan ribu pulau dan perairan, ditambah zona ekonomi eksklusif 200 mil, serta SDA yang sangat melimpah dan banyak, di dasar, di dalam, serta di bawah permukaan tanah/air mengapa hingga detik ini Indonesia belum juga diakui sebagai negara maju. Atau setidaknya negara yang kaya. Sementara kita tahu beberapa negara yang –bahkan- tanpa SDA atau dengan SDA yang terbatas melesat maju menjadi negara yang diperhitungkan. Sebut saja Jepang sebagai contoh. Padahal pada akhir PD II dua bom nuklir meluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Tentu saja, di antara faktor yang menentukan hal tersebut adalah kualitas SDM yang mereka miliki. Tapi SDM bangsa Indonesia juga tidak terlalu buruk. Para putra-putri Indonesia pun tak sedikit yang menjadi tenaga ahli dan profesional di negara-negara maju. Masalahnya adalah pada manajemen/pengelolaan SDM dan potensi SDA yang melimpah. Karena tanpa peningkatan dan pengelolaan kualitas SDM kita hanya akan terus menjadi ”pengekor”. Lihat saja bagaimana pemanfaatan SDA yang ada di tanah air kita yang kaya. Sebenarnya ”kaya” dari sudut potensi, bukan riil. Karena masih sangat tergantung pada keahlian dan SDM asing.

Kekayaan Indonesia: Siapa yang Menikmatinya?
Di akhir 1980-an kebijakan politik orde baru melunak terhadap umat Islam. Ditandai dengan berdirinya ICMI (1990), berdirinya Bank Muamalat yang menjalankan perbankan syariah (1991), kemudian dipebolehkannya jilbab di beberapa instansi pemerintah (1992). Oleh sebagian pengamat, kebijakan yang diambil Soeharto sangat politis. Karena hal tersebut digunakan hanya untuk menutupi kebobrokan sistem yang mulai rapuh. Korupsi yang semakin merajalela, birokrasi yang semakin rusak, kolusi dan nepotisme yang berujung pada keuntungan pribadi. Tahun 1990-an 70% kegiatan ekonomi Indonesia berada di tangan orang Cina. Hanya ada Aburizal Bakrie sebagai keterwakilan pribumi asli di antara mereka([2]).

Karena itu menguatnya ekonomi Indonesia di tahun 1990-an sebenarnya belum riil dan bersifat sangat regional serta tidak merata. Pulau Jawa –saja- menghasilkan 62% dari PDB (Produksi Domestik Bruto) nonmigas([3]). Sementara Indonesia secara keseluruhan masih ”miskin”. Apalagi kondisi di Indonesia bagian Timur. Terlepas dari kemajuan yang dicapai dalam pembangunan dengan munculnya gedung-gedung pencakar langit di Jakarta.


Angka kekuatan ekonomi Indonesia sebenarnya adalah angka yang tak seimbang dalam lapangan. Karena, peredaran ekonomi hanya dinikmati oleh sebagian kecil saja dari rakyat Indonesia. Bahkan, ada kecenderungan kekuatan asing mulai ikut berpesta di negara yang jumlah penduduk miskinnya masih tinggi. Sebut saja kasus Freeport, misalnya. Atau di era reformasi seperti sekarang ini seperti supermarket sekelas Carefour, dengan saham 100% asing kita bisa membayangkan berapa rupiah kemampuan daya beli masyarakat Indonesia yang masih konsumtif itu lari ke Perancis.

Maka saat Indonesia diganyang krisis ekonomi tahun 1997 pemerintah sangat angkuh dalam mengantisipasinya. Karena itulah keadaan Indonesia kemudian jauh menjadi terpuruk jika dibanding negara-negara tetangga dalam menghadapi krisis ekonomi tersebut. Memang benar sepuluh tahun kemudian Indonesia menjadi sedikit ”santai” saat dunia panik menghadapi krisis ekonomi global.

Memahami Masalah dan Merancang Dengan Jeli

Sepanjang tahun 1992 sampai 1997, sebelum terjadinya krisis ekonomi jilid satu, dari kredit macet yang ada, 85% di antaranya berasal dari hutang swasta([4]). Ini menunjukkan bahwa pemerintah berpihak tidak kepada rakyat yang jumlahnya sangat banyak. Apalagi sebelumnya pada akhir 1980-an pemerintah yang menganut sistem kapitalis semakin tertarik untuk ikut-ikutan memperkuat basis ekonomi liberal, yang ditandai dengan lemahnya pengawasan dan monitoring. Transpransi kebijakan ekonomi semakin tidak terlihat dan diikuti dengan lemahnya supremasi hukum. 

Pemerintah yang seharusnya lebih banyak melihat rakyat justru berapologi dengan tidak adanya transparansi kebijakan sebagai langkah persiapan menyambut globalisasi ekonomi atau yang sering dikenal dengan pasar bebas yang bertahap. Dimulai dari ASEAN (2005), kemudian negara-negara maju Asia Pasifik (2010) dan baru kemudian seluruh negara Asia Pasifik akan menyambut era perdagangan bebas pada tahun (2020). Tapi badai krisi ekonomi 2008 seolah menggertak 6000-an orang –saja- yang menguasasi ekonomi dunia. Meskipun dampaknya dirasakan jutaan orang lainnya.


Indonesia terhenyak, karena alih-alih semakin siap. Pemahaman ”kesiapan” pun menjadi kabur. Apakah siap untuk masuk arus liberalisasi ekonomi ataukah siap dengan imunitas ekonomi kerakyatan. Sejak tertimpa krisis tahun 1998, seharusnya bangsa Indonesia semakin merapatkan antara penguasa dan rakyatnya untuk menguatkan basis ekonomi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, rakyat masih saja menjadi pihak yang dimanfaatkan bukan yang seharusnya memanfaatkan dan diberdayakan.

Perlu Momentum Untuk Bangkit?

Gempa bumi di Sichuan, Cina, Mei 2008 yang menewaskan lebih dari 80 ribu penduduk masih segar dalam ingatan kita. Apalagi didahului dengan terpaan badai salju akhir 2007 hingga awal 2008 yang melumpuhkan sistem transportasi di Cina Selatan. Bencana tersebut awalnya dianggap menjadi bayang-bayang kegagalan Olimpiade 2008.

Tapi apa yang kemudian terjadi. Negeri yang mulai bangkit oleh spirit Deng Xiaoping 30 tahun lalu ini selalu menggenjot ekonomi sejalan dengan minat besar perusahaan-perusahaan raksasa international.

Olimpiade 2008 ibarat membawa kekuatan magis. Pesta olahraga empat tahunan ini seperti menyapu langit dan sungai-sungai Beijing menjadi bersih. Beijing kini berwajah baru. Membalas kritik kualitas udara dengan memesan komponen teknologi baru berkelas CCS (carbon capture storage) untuk pembangkit energi batubara industri-industri di Beijing. Selebihnya pemerintah tidak kompromi dengan industri pencemar, meski era sebelumnya industri tersebut adalah tulang punggung ekonomi penduduk lokal. Setahun sebelum olimpiade lebih dari 200 perusahaan yang mencemari lingkungan ditutup atau dipindahkan keluar Beijing. Asap dari pembakaran kendaran dikurangi dengan mengganti 47 ribu taksi lama dengan taksi baru dan 7 ribu bus berbahan diesel dengan bus berbahan bakar gas sekaligus memulai era baru standar kendaraan berstandar Uni Eropa([5]). Dan dunia akhirnya mengakui bahwa Olimpiade 2008 menjadi salah satu even olah raga internasional yang sangat sukses.


Setelah diterpa krisis tahun 1998, Indonesia juga tak kalah dahsyatnya ditimpa musibah tsunami di penghujung tahun 2004. Memang, sebagian konflik sosial dan politik membaik tapi kemapanan ekonomi bangsa Indonesia masih sangat jauh. Karena sebagian kecil elit ekonomi takut untuk share kekayaan. Jurang ekonomi masih tetap menganga, bahkan semakin lebar. Para pecinta kapitalis pun enggan memperbaiki sikap. Monopoli menjadi paham yang dipuja. Diikuti dengan gurita korupsi yang sangat sulit untuk dibasmi. Belum lagi birokrasi yang –katanya membaik tapi- makin ruwet. Tak heran jika sebagian rakyat terutama yang sudah tak memiliki iman dan motivasi menjadi patah arang, frustasi dan memperturutkan emosi. Tak heran jika kemudian angka kriminal meningkat. Bahkan menjadi tontonan yang dinikmati setiap hari, dan disajikan sebagai entertaintment.

Perbaikan Ekonomi

Bila salah satu pos reformasi adalah ekonomi maka menjadi kepentingan setiap kita untuk memperbaikinya. Baik dalam sekup yang terkecil (individu) sampai yang berskala besar (nasional-regional dan global). Disamping tentunya reformasi di bidang lain juga mutlak diperlukan, seperti politik, hukum, pendidikan, birokrasi dan sektor sosial.

Jika rakyat Indonesia berjumlah besar seharusnya menghasilkan perputaran uang yang besar yang juga bisa dinikmati oleh sebagian besar rakyat. Kenyataan berkata lain bahwa peredaran uang yang sangat besar bermuara ke beberapa kantong saja. Inilah yang sebenarnya menjadi masalah. Maka segera diperlukan tindakan berupa kebijakan ekonomi yang berpihak ke rakyat. Apapun namanya sistem ekonomi tersebut.

Ekonomi Kerakyatan: Apakah Ekonomi yang Memihak Rakyat?

Ekonomi kerakyatan yang memihak rakyat sangat diperlukan, setidaknya karena tiga hal:
1. Visi dan misi pembangunan ekonomi masa lalu rapuh
2. Pembaruan komitmen ekonomi belum sesuai dengan cita-cita para pendiri negara Indonesia
3. Rujukan sistem nilai arah & praksis pembangunan ekonomi yang sesuai Pancasila & UUD 1945 belum tersusun.

Karena itulah ekonomi kerakyatan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah NKRI yang didukung oleh manusia berakhlak mulia, cinta tanah air, berdasarkan hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.

Ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang memanusiakan manusia, karena berorientasi pada manusia dengan meletakkan landasan ekonomi yang berdasar asas kekeluargaan dan koperasi, penguasaan negara yang tidak menjurus ke etatisme, pengembangan sektor swasta secara terkendali. Sehingga tidak merugikan negara dan menyengsarakan rakyat banyak.

Mengenal Uang, Ekonomi Kapitalis dan Sosialis

Dulu sebelum dunia mengenal uang kegiatan ekonomi manusia dilakukan dengan sistem ”barter”. Kemudian dengan ditemukannya uang sebagai alat ganti/tukar, kegiatan ekonomi semakin beragam. Tapi, era kapitalisme/liberal yang syarat dengan matrealisme kini menjadikan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan, bergeser fungsinya dari –sekedar- alat tukar. Maka yang terjadi adalah ilusi yang menggelembungkan aset ekonomi yang kasat mata menjadi kekayaan yang sebenarnya fiktif. Hanya berupa angka-angka di dunia maya. Sistem ini benar-benar gambling. Sebuah perjudian yang tidak mengenal belas kasihan kepada orang-orang yang tak memiliki uang sebagai ”alat tukar”. Tak heran jika mereka bekerja memutar uang ke berbagai benua dari waktu ke waktu. Mafia kapitalis masih terus membutuhkan darah segar. Dan tak jarang mereka memainkan peran sebagai ”rentenir” yang berdasi dan terkesan lebih bermoral.

Di lain sisi, mereka memanjakan imajinasi orang-orang kaya yang terpukau dengan keajaiban kapitalisme, seolah menawarkan mereka free pass untuk melayani kenikmatan individu dan membuang sampah tanpa berfikir dua kali. Banyak di antara mereka bahkan memiliki kamar-kamar mandi lux yang menyirami badan-badan mereka dengan air yang jumlahnya melebihi air yang mengalir di ladang-ladang petani tetangga mereka.

Ekonomi Kapitalis menjadikan manusia sebagai mesin penghasil uang. Manusia sangat individual dan sangat bebas. Dan kesejahteraan masyarakat yang dimaksud adalah penjumlahan kesejahteraan individu, lebih tepatnya aset individu. Kepemilikan bersifat sangat pribadi. Serta kekuatan sumber daya ekonomi diciptakan melalui persaingan sempurna atau yang dikenal dengan pasar bebas.

Sebaliknya Ekonomi Sosialis memandang masyarakat adalah target tertinggi, bukan individu-individu, tak ada kepemilikan pribadi atau sangat terbatas dan alokasi sumber daya diatur sepenuhnya oleh negara.

Di dunia ini tidak ditemukan suatu bentuk sistem ekonomi yang murni kapitalis atau pun yang murni sosialis. Capitalist Economic System contoh: Market Capitalism seperti misalnya Amerika Serikat atau Government Intervention on the Market Socialism seperti Uni Soviet, atau Market Socialism seperti Yugoslavia, Communal Socialism seperti misalnya Cina di bawah Mao dan Cuba di bawah Castro([6]).

Jika negara-negara di atas memiliki karakteristik tersendiri, maka sudah selaiknya bangsa Indonesia mengatur sistem ekonominya sendiri. Bisa jadi –memang- dengan mengadopsi beberapa sistem tapi tetap harus disesuaikan dengan kondisi keindonesiaan. Atau setidaknya sebagai nilai, bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk Islam perlu menghayati hikmah yang terkandung dalam ibadah sosial umat Islam; yaitu zakat.


Zakat bukan hanya sebagai kumpulan harta yang diambil dari orang-orang kaya. Tapi zakat adalah potensi kekayaan yang diberdayakan sebagai kegiatan ekonomi aktif. Sebagai contoh, lihatlah emas atau harta diam yang telah melebihi nishab dikenakan zakat dari modal pokoknya. Sementara harta yang diinvestasikan jauh lebih menguntungkan, justru modal pokoknya tidak dihitung. Ini menandakan bahwa Islam tidak mengehendaki adanya potensi kekayaan yang mandeg. Karena Islam sangat memerangi monopoli dan penimbunan. ”…supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” ([7]). Sebagai potensi kekayaan zakat bukan sekedar menjadi solusi kemiskinan yang dalam al-Quran disebutkan dengan berbagai redaksi([8]) menunjukkan bahwa mereka diproyeksikan untuk terentaskan dari berbagai keadaan di bawah rata-rata sehingga kelak mereka bisa menjadi donator atau orang yang mengeluarkan zakat di tahun-tahun berikutnya. Tak heran jika sejak periode Makkah pun al-Qur’an sangat berpihak pada ”rakyat” yang miskin([9]).

Potensi zakat inilah yang dikembangkan dengan baik oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz sehingga sangat sulit ditemukan orang miskin di zaman beliau. Bahkan harta zakat pun sulit disalurkan karena kesejahteraan rakyat sudah sangat baik([10]).

Kepada Siapa Ekonomi Kerakyatan Berpihak?

Jawaban pertanyaan di atas sangat jelas. Kepada rakyat. Karena itulah yang harus diberdayakan dalam kegiatan ekonomi adalah rakyat sebagai pelakunya. Sedangkan sistem ekonominya dikembangkan bukan diberdayakan([11]).

Sila ke-4 Pancasila berbunyi yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ini artinya rakyat Indonesia memiliki basis ekonomi kerakyatan yang berpijak pada ekonomi yang demokratis([12]). Pengertian sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi: ”Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” ([13]). Mudahnya, ekonomi kerakyatan terangkum dalam tiga hal: Ekonomi Nasional Indonesia berazaskan kekeluargaan, Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan berdasarkan pada demokrasi politik serta ekonomi.


Sebagian pihak salah dalam memahami hakikat ekonomi kerakyatan yang diterjemahkan dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang sebenarnya sekedar terjemahkan istilah asing SME (Small and Medium Enterprises), yang tidak mencakup 40 juta usaha mikro (93% dari seluruh unit usaha), maka segala pembahasan tentang upaya pemberdayaan ekonomi rakyat tidak akan mengena pada sasaran, dan akan menjadi slogan kosong([14]). Sebagian lain sangat keliru menyamakan ekonomi kerakyatan dengan sektor informal, yang hanya diartikan sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang tidak berbadan hukum yang selalu “melanggar hukum” sehingga harus “ditindak”. Dan dengan definisi ini kemudian diajukan program pemberdayaan sektor “UKM” dengan secepatnya menjadikan atau “mentrans-formasi” sektor informal menjadi sektor formal([15]). Maka sebaiknya sektor yang selama ini dianggap informal digarap secara serius sebagai sesuatu yang formal.

Lebih Memahami dan Mempraktekkan Ekonomi Kerakyatan

Sistem ekonomi kerakyatan menjadikan manusia sebagai entitas yang kebebasannya terletak dalam kepentingan bersama masyarakat. Kepemilikan individu dan kepemilikan publik sama-sama diakui. Dan alokasi optimum sumber daya dicapai melalui usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.

Adapun mekanisme atau cara mempraktekkan Ekonomi Kerakyatan secara aplikatif adalah sebagai berikut:

Cara pertama yang paling mudah memberdayakan ekonomi rakyat adalah menghapuskan sistem monopoli, yang pernah disamarkan dengan nama sistem tata niaga. Misalnya tataniaga jeruk Kalbar atau tataniaga cengkeh Sulut. Padahal yang dimaksudkan jelas sistem monopoli yang pemegang monopolinya ditunjuk pemerintah yaitu BPPC untuk cengkeh dan Puskud untuk Jeruk Kalbar. 

Cara kedua adalah pemberdayaan melalui keberpihakan pemerintah. Jika pemerintah bertekad memberdayakan petani padi atau petani tebu misalnya, pemerintah harus berpihak kepada petani. Berpihak kepada petani berarti pemerintah tidak lagi berpihak pada konglomerat seperti dalam kasus jeruk dan cengkeh, yang berarti petani jeruk dan petani cengkeh memperoleh “kebebasan” untuk menjual kepada siapa saja yang mampu memberikan harga terbaik.


Khusus dalam kasus petani padi, yang terpukul karena harga pasar gabah dibiarkan merosot di bawah harga dasar, keberpihakan pemerintah jelas harus berupa pembelian langsung gabah “dengan dana tak terbatas” sampai harga gabah terangkat naik melebihi harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah.


Secara garis besar ekonomi kerakyatan bisa dilakuan dengan tujuh poin berikut([16]):

1. Usaha bersama berdasar kekeluargaan akan menjadi dasar alokasi sumber daya.
2. Meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat (community capacity building and empowerment).
3. Meredam setiap gejolak perubahan internasional sehingga sistem ekonomi nasional berkelanjutan (sustainable) dan supaya lebih kuat serta tahan.
4. Memberikan peluang bagi setiap anggota masyarakat untuk melakukan proses belajar melakukan kegiatan ekonomi (social learning process).
5. Menciptakan kemandirian (self-reliance) di tengah setiap perubahan hubungan ekonomi internasional yang terjadi.
6. Memberi ruang partisipasi bagi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi.
7. Optimalisasi peran kelembagaan ekonomi dan politik untuk mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan.

Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Islam
Sebenarnya antara ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam tak ada pertentangan. Jika yang dimaksud kerakyaktan adalah pemberdayaan dan keberpihakan terhadap rakyat hal tersebut senada dengan ruh Islam yang memerangi monopoli. Juga sebaliknya Islam yang ingin ada pemerataan kesejahteraan sangat berkepentingan untuk memberdayakan rakyat.

Tapi jika yang dimaksud dengan kerakyatan adalah peniadaan kepemilikan individu atau sangat membatasi (bukan mengontrol) maka ini sama saja dengan ekonomi sosialis yang bertentangan dengan Islam. 

Islam adalah ruh dan nilai dari kegiatan dan sistem ekonomi bangsa. Sistemnya bisa ekonomi kerakyatan atau yang lainnya. Aplikasinya bisa disesuaikan keadaan. Karena pada dasarnya kepemilikan manusia atas kekayaannya adalah tidak sepenuhnya atau sebatas ”karunia” Allah([17]), meskipun untuk meraihnya diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dengan memerangi kebodohan dan kemalasan.

Keduanya memiliki kesamaan berupa pemerataan kesejahteraan. Inilah yang dibahasakan Abdulah Nasih Ulwan dengan solidaritas sosial yang sesungguhnya. Rakyat bisa mendapatkan tempat tinggal yang laik, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang terjangkau, kebutuhan pangan yang tidak menyulitkan serta kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat terpenuhi([18]). Itulah setidaknya letak keberpihakan pemerintah yang paling minimal. Kemudian potensi kekayaan masyarakat tersebut dioptimalkan supaya tidak mandeg. JIka porsi optimalisasi ini maksimal maka akan menjadi sebuah ekonomi nasional yang kuat dan mapan.

Epilog: Sebuah Masukan Untuk Perubahan
Sebagaimana pemerintah harus memulai berpihak pada rakyat, maka rakyat pun harus segera menata atau setidaknya memahami potensi ”kekayaan”nya. Kemudian melakukan langkah yang dianjurkan oleh agama kita: dengan berhemat. Karena pola hidup konsumtif masyarakat ikut mempunyai andil kurang berkembangnya potensi ekonomi bangsa kita. Jika prilaku dan watak ini mengkristal maka bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaya saing tinggi.

Berikut ini langkah-langkah strategis-normatif yang diusulkan penulis untuk menjadi ruh ekonomi kerakyatan disamping beberapa aplikasi yang sudah dijelaskan di depan.

1. Berhemat. Minimalisir berhutang/meminjam([19]).
2. Menerapkan ekonomi syariah. Sebagian pihak antipati dengan ekonomi Islam, karena selalu dikaitkan dengan perkembangan politik yang menyamakannya dengan bahaya teroris. Padahal misi yang dibawa ekonomi syariah senada/tak jauh beda dengan ekonomi kerakyatan (sebagai perbandingan lihat tabel sistem ekonomi dalam lampiran)
3. Peningkatan SDM. Penulis membuka masalah dengan permasalah SDM maka sudah selaiknya bangsa kita terus meningkatkan SDM terutama dari sektor pendidikan.
4. Pengentasan kemiskinan. Artinya perhatian terhadap fakir miskin dengan orientasi pengentasan aktif yang bervisi mengubah mereka menjadi donator di masa mendatang.
5. Hilangkan kesenjangan, dengan tidak terlalu bergaya hidup mewah dan dengan membangun komunikasi yang baik. Baik antara pemerintah-rakyat atau sebaliknya, juga antar sesame rakyat.
6. Menjaga keutuhan NKRI. Dengan keutuhan dan persatuan NKRI lebih memungkinkan untuk membangun ekonomi yang lebih maju dibanding dengan perpecahan dan permusuhan serta ketidakstabilan.


([1]) Editorial The Washington Post, 21 April 2001
([2]) M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200-2008 M), Jakarta: Serambi, Cet.1, November 2008, hlm. 668,669,671
([3]) Ibid, hlm. 653
([4]) Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU, Sistem Ekonomi Kerakyatan, hlm 13 dalam Simposium ICMI Cairo, Agustus 2005
([5]) Dr. Suhendra, Momentum Demistifikasi Transfer Teknologi, hlm. 2
([6]) Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU, Ibid, hlm. 23
([7]) QS. Al-Hasyr [59]: 7.
([8]) Seperti miskin (pas-pasan), mahrum (terhalangi), fuqara (tak berharta), ibnu sabil (kehabisan bekal perjalanan), dan gharim (dililit hutang)
([9]) Dr Yusuf al-Qaradhawy, Fiqhu az-Zakâh, Beirut: Muassasah Risalah, Cet.VII, 2002 M-1423 H, hlm. 75
([10]) Abdullah Nasih ’Ulwan, Ahkâmu az-Zakâh, Cairo: Darussalam, Cet.IV, 1986 M-1406 H, hlm. 7
([11]) Seperti yang termuat dalam Propenas (UU No. 25 tahun 2000)
([12]) Meminjam Istilah Prof. Dr. Mubyarto (Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM) dalam Capres/Cawapres & Ekonomi Rakyat http://www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_4.htm 
([13]) Penjelasan tersebut sudah tak ada lagi sesuai keputusan MPR RI setelah mengamandemen UUD 1945, dengan alasan di negara-negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan. Meskipun sebenarnya sangat perlu untuk dibunyikan dalam bentuk redaksi yang jelas.
([14]) Prof. Dr. Mubyarto, Capres/Cawapres dan Ekonomi Rakyat (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_4.htm) online: 30 Mei 2009 
([15]) Ibid 
([16]) Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU, Op.Cit dengan beberapa pengurangan dan tambahan
([17]) Quthb Ibrahim, al-Mâl al-'Âm fi al-Islâm, Cairo: Maktabah Usrah, 2001, hlm.14
([18]) Abdullah Nasih Ulwan, at-Takâful al-Ijtimâ’iy fi al-Islâm, Cairo: Maktabah Usrah, 2001, hlm.19
([19]) Karena kebiasaan berhutang dan konsumtif menjadi permasalahan ekonomi dari masyarakat yang terkecil sekalipun. (lihat: Dr. Akrom Ridho, Buyût Bilâ Duyûn, Cairo: Daruttauzi’, 2005 M-1426 H, hlm.8)

Comments