Eksploitasi Tanah

Eksploitasi Tanah
Pada masa kerajaan Mataram Islam yang agraris, kegiatan ekonomi sebagian besar  masih dilakukan dengan cara tukar-menukar, upeti yang terdiri dari hasil panen dan tenaga kerja. Meskipun sudah ada organisasi/ lembaga keuangan di pusat kerajaan, akan tetapi belum  berfungsi sebagai alat perekonomian kerajaan yang utama. Bagi raja kekayaan adalah alat yang ditimbun dan kadang-kadang digunakan untuk membeli dukungan., sehingga tidak pernah dianggap sebagai alat efisiensi dalam organisasi ekonomi kerajaan.[i]

Sementara itu dalam konsep kekuasaan Jawa, raja adalah pemilik tanah dengan kekuasaanya yang mutlak. Tanah itu dibagi-bagikan kepada para pejabat birokrasi dan para bangsawan sebagai tanah apanage, dan kemudian diserahkan kepada rakyat untuk dikerjakan.[ii]Hasil panen dari tanah-tanah yang dikerjakan rakyat di pedesaan, upeti atau penyerahan wajib lainya diserahkan oleh para kepala desa (petingi atau bekel) kepada para atasanya yaitu para Demang. Para demang ini kemudian menyerahkan lagi kepada para atasanya yaitu para Panji, yang biasanya bergelar Tumenggung. Kepala dari para panji adalah Wedana yang selanjutnya bertangung jawab secara langsung kepada Patih.[iii](Schrieke, 1951, part II: 191-194).

Agar bisa mengontrol tanah-tanahnya yang dikerjakan oleh rakyat di pedesaan, raja mengangkat  petugas-petugas khusus, yaitu apa yang disebut dengan istilah bekel, petinggi dan sebagainya, yang sekaligus berfungsi sebagai pemungut pajak. Mereka ini tentu saja juga diberi imbalan jasa atau semacam gajih, yaitu bagian dari hasil tanah desa di wilayah kerja mereka masing-masing. Untuk para bekel ini raja memberikan tanah bebas pajak yang luasnya seperlima dari tanah sawah yang ada di wilayah kerja mereka masing-masing. Kemudian separoh dari sisanya, yaitu sebesar 2/5 bagian menjadi hak para petani penggarap yang mereka nikmati pada setiap panen. Sisanya lagi yang tinggal 2/5 bagian, harus dipotong lagi 1/5 bagian untuk bupati sebagai kepala daerah dan 1/5 lagi menjadi bagian para kepala distrik seperti Demang dan Ngabehi. Dengan demikian raja tinggal memperoleh bagian 2/5 x 100 % - 2/5 x 40 % = 40 % - 16 % = 24 % dari seluruh hasil panen di suatu kabupaten. Sistem tanah bebas pajak atau hak guna tanah yang seluas 1/5 bagian dari seluruh tanah sawah yang ada di wilayah kerja bekel atau petinggi  (atau jabatan setingkat) itu dinamakan sistem perlimaan.
Sistem kesatuan tanah di Jawa pada jaman raja-raja Mataram Islam pra kolonial adalah “jung” yang arti harafiah atau yang sesungguhnya adalah kaki, yang kira-kira sama dengan 50 x 50 cengkal = 2.500 roede persegi. Satu jung masih bisa dibagi lagi menjadi 5 bau (bau = lengan). Pengertian harafiah bau atau lengan adalah lengan pekerja seperti petani atau peladang, yang kemudian juga disebut dengan istilah karya, yang berarti tugas kerja. Satu bahu luasnya kira-kira sama dengan 500 roede persegi. Akan tetapi dalam administrasi pertanahan Jawa yang masih sederhana tanah, tanah bebas pajak dari para bekel tidak pernah diperhitungkan dalam menentukan luas tanah desa. Oleh karena itu dalam daftar pajak yang resmi hanya diperhitungkan 1 jung sama dengan 4 bau atau karya (G.P. Ruffaer, XXXIV, 1931: 72). Artinya untuk ukuran satu jung yang sesungguhnya masih harus ditambah bagian bekel sebesar 1 bau, sehingga menjadi 5 bau.
Dengan demikian asal-usul pengertian bau  atau karya itu berhubungan dengan pengertian kesatuan tenaga kerja. Kemudian, terutama sejak Mataram terpecah menjadi dua yaitu Surakartadan Yogyakarta (1755),  muncul pengertian cacah yang mempunyai luas sama dengan ¼ bau (karya). Akan tetapi pengertian cacah ini menunjuk kepada kesatuan tanah dalam suatu keluarga. Ukuran kesatuan tanah dalam cacah ini juga sekaligus menunjukan  sekian banyak real uang pajak setiap tahunnya. Dalam istilah Belanda lama pajak keluarga semacam itu disebut dengan istilah hoofdgelden, yang merupakan kesatuan penetapan dalam hal pajak untuk tanah milik raja. Oleh karena itu setiap kesatuan tanah yang memberikan nafkah bagi satu orang dan keluarganya, ditarik pajak satu real per tahun, yang langsung menjadi bagian raja. Dengan demikian pengertian luas tanah dalam cacah itu juga  berhubungan dengan pengertian pajak satu keluarga dalam real.

Para pejabat birokrasi tidak menerima imbalan atas pekerjaan dan kedudukannya, akan tetapi sebagai gantinya mereka memperoleh tanah gadhuhan (pinjam) sebagai tanah lungguh (jabatan), atau tanah apanage. Bagian tanah jabatan atau apanage para pejabat birokrasi adalah sebagai berikut:
1.
Wedana Lebet
: 5.000 karya
2.
Wedana Jawi
:  Lihat penjelasan di bawah
3.
Wedana Bumija
: 6.000 karya
4.
Wedana Bumi
: 6.000 karya
5.
Wedana Siti Ageng Kiwa
: 10.000 karya
6.
Wedana Siti Ageng Tengen
: 10.000 karya
7.
Penewu
: 1.000 karya
8.
Penatus
: 100 karya
9.
Panalawe
: 25 karya
10.
Panigang Jung
: 12 karya
11.
Panajung
: 4 karya
12.
Panakikil
: 2 karya
Luas tanah lungguh atau apanage para Wedana Jawi  adalah bervariasi, yaitu tergantung dari luasnya daerah yang menjadi wilayah kerja mereka masing-masing. Artinya semakin luas daerah yang menjadi wilayah kerjanya, semakin luas pula tanah jabatan yang bisa dinikmati dan sebaliknya.
Yang memperoleh bagian tanah lungguh atau apanage dari raja bukan hanya para pejabat birokrasi kerajaan, akan tetapi juga para bangsawan keluarga raja yang tidak menjadi pejabat birokrasi. Mereka itu memperoleh tanah apanage yang masing-masing besarannya adalah  sebagai berikut.
1.
Nenek raja (Ratu Eyang)
: 1.000 karya
2.
Ibu Raja (Ratu Ibu)
: 1.000 karya
3.
Isteri raja (Ratu Kencana)
: 1.000 karya
4.
Putra Mahkota (Pangeran Adipati Anom)
: 8.000 karya
5.
Para Pangeran (putra raja)
: 1.000 karya
Besar kecilnya tanah lungguh seorang pejabat birokrasi kerajaan menunjukkan tinggi rendahnya tingkatan pejabat itu dalam struktur birokrasi kerajaan, sedangkan bagi para bangsawan menunjukkan tinggi rendahnya derajad kebangswanan (keningratan) mereka masing-masing.
Bagi para pejabat birokrasi kerajaan, tanah lungguh atau apanage itu tidak bisa diwariskan kepada keturunannya. Artinya tanah itu hanya bisa dinikmati selama seseorang masih berstatus sebagai pejabat birokrasi kerajaan. Apabila sudah berhenti dari jabatannya dengan berbagai alasan, tanah tersebut otomatis kembali kepada pemiliknya yaitu raja, yang kemudian akan diberikan kembali kepada penggantinya. Sebaliknya, meskipun tidak untuk selamanya, tanah apanage para bangsawan kerajaan bisa diwariskan kepada keturunannya. Hanya saja luasnya  biasanya semakin menyusut sejalan dengan menurunnya derajad kebangsawanan seseorang. Dalam sistem kebangsawanan Jawa, derajad kebangsawanan seorang raja semakin menurun sampai derajad kelima (terbawah). Di bawah itu keturunan seorang raja bisa dianggap sebagai orang biasa atau kebanyakan. Bahkan sejak menyusutnya tanah-tanah milik kerajaan Yogyakarta dan Surakarta  pada tahun 1812 dan 1830 sebagai akibat aneksasi Inggris dan Belanda, kebangsawanan itu hanya menurun sampai derarajad ketiga.[iv]



[i] Onghokham. “Pungutan Dalam Sejarah” dalam harian Kompas, 14 Juli 1963, hlm. 2..
[ii] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden, Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm.67-68.
[iii] B. Schrieke. “IndonesiaSociological Studies” Ruler and Realm in Early Java. Part II. Brussel: A Manteu, 1959, hlm.191-194.
[iv] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden, Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm.77.

Comments