KODE ETIK PROFESI : ETIKA BERKAITAN DENGAN HUKUM

ETIKA BERKAITAN DENGAN HUKUM
Etika merupakan bagian dari filsafat yang selalu berupaya menuju pada kebaikan kehidupan manusia baik secara lahir maupun batin, sedangkan hukum untuk mengatur tata kehidupan manusia baik individu, kelompok maupun masyarakat/publik, sehingga hak orang lain tidak berbenturan dengan hak orang lain serta adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Paul Scholten menyatakan, bahwa baik hukum maupun moral (etika) kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia. Keduanya sama, yaitu mengatur perbuatan-perbuatan kita.

Hukum dan etika memiliki nilai kemanfaatan yang sama yaitu mencita-citakan tertib kehidupan masyarakat serta memberi jawaban atas kebutuhan keadilan masyarakat dengan penegakan nilai-nilai kebenaran.

Etika dalam perkembangannya dikodifikasikan dalam bentuk kode etik oleh setiap kelompok sosial bahkan didukung berlakunya oleh peraturan perundangan sehingga kode etik itu sendiri bukanlah etika pada umumnya tetapi menyatu dengan ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun demikian tetap memberikan nuansa yang berbeda dari segi sanksi yang dijatuhkan bila terjadi pelanggaran. Sanksi pelanggaran kode etik sesuai dengan kesepakatan kelompok yang dituangkan dalam kode etik, pada umumnya dalam bentuk sanksi administratif. Kewenangan atas keputusan melebihi sanksi administratif merupakan kewenangan peraturan perundangan dalam hal ini otoritasnya diserahkan kepada para penegak hukum.

KODE ETIK PROFESI
Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang merupakan kesatuan moral yang melekat pada suatu profesi sesuai kesepakatan organisasi profesi yang disusun sesara sistematis.

Kode etik dapat dikatakan merupakan sekumpulan etika yang telah tersusun dalam bentuk peraturan berdasarkan prinsip moral pada umumnya yang disesuaikan dan diterima sesuai jiwa profesi guna mendukung ketentuan hukum yang berlaku demi kepentingan profesi, pengguna jasa profesi, masyarakat/publik, bangsa dan negara.

Pengaturan etika disusun dalam bentuk kode etik dipandang penting mengingat jumlah penyandang profesi makin banyak sehingga membutuhkan ketentuan baku yang mampu mengendalikan serta mengawasi kinerja profesi. Selain makin banyaknya penyandang profesi, juga menghindari kesalahan profesi tanpa ada pertangungjawaban dengan mengotak-atik kelemahan etika guna mengamankan penyandang profesi itu sendiri. Faktor lain yang mendukung dibentuknya kode etik secara baku karena tuntutan masyarakat yang makin kompleks dan kritis sehingga ada kepastian hukum tentang benar atau tidaknya penyandang profesi dalam menjalankan tugasnya.

Penegakan terhadap pelaksanaan kode etik secara konsekuen dilakukan oleh organisasi profesi sebagai pencetus lahirnya kode etik. Keberadaan organisasi profesi dipandang penting untuk menjatuhkan sanksi bagi pelanggar kode etik. Sanksi-sanksi diharapkan lebih efektif karena telah dibahas diantara penyandang profesi, sehingga terdapat beban moral bagi pelanggar yang secara psikis merasa dikucilkan dalam pergaulan profesi bahkan akan menjadi lebih berarti manakala organisasi profesi telah diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk memberikan Ijin praktek. Kewenangan tersebut dapat mengakibatkan pencabutan ijin praktek. Selain organisasi sebagai penegakan etika, juga merupakan wadah bagi pengembangan profesi, sebagai tempat tukar menukar informasi, membahas dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan profesi, membela hak-hak anggotanya.

Menurut E.Holloway dikutip dari Shidarta, kode etik itu memberi petunjuk untuk hal-hal sebagai berikut:
  1. Hubungan antara klien dan penyandang profesi;
  2. Pengukuran dan standar evaluasi yang dipakai dalam profesi;
  3. Penelitian dan publikasi/penerbitan profesi;
  4. Konsultasi dan praktik pribadi;
  5. Tingkat kemampuan kompetensi yang umum;
  6. Administrasi personalia;
  7. Standar-standar untuk pelatihan.
Ditambahkan oleh Holloway, bahwa kode etik (standar etika) tersebut mengandung beberapa tujuan sekaligus, yaitu untuk:
  1. Menjelaskan dana menetapkan tanggung jawab kepada klien, lembaga (institution), dan masyarakat pada umumnya;
  2. Membantu penyandang profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etis dalam pekerjaannya;
  3. Membiarkan profesi menjaga reputasi (nama baik) dan fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan buruk dari anggota-anggota tertentu dari profesi itu;
  4. Mencerminkan pengharapan moral dari komunitas masyarakat (atas pelayanan penyandang profesi itu kepada masyarakat);
  5. Merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atas kejujuran dari penyandang profesi itu sendiri.
Kode etik oleh Edgar Bodenheimer dapat dikelompokkan kedalam jenis aturan yang disebut autonomic legislation. Biasanya kode etik tidak pernah dianggap sebagai bagian dari hukum positif suatu negara, Namun disadari atau tidak, kode etik dapat saja secara diam-diam diadopsi menjadi salah satu jenis sumber formal hukum.

Perkembangan hukum di Indonesia terdapat beberapa Undang-undang yang mencantumkan kode etik harus ditaati sehingga kode etik merupakan bagian dari hukum positif yang akan menimbulkan sanksi hukum bagi pelanggar disisi lain penegakan kode etik juga merupakan tujuan dari hukum positif. Adapun Undang-undang tersebut antara lain:
  1. Pasal 17 ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen, melarang pelaku usaha periklanan memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;
  2. Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 2003, tentang Advokat;
  3. Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2004, tentang jabatan Notaris, pada pasal 85 disinggung beberapa jenis sanksi yang bisa dikaitkan dengan pelanggaran kode etik.

Comments